Senin, 02 April 2012

Gamelan Gambang Dalam Upacara Pitra Yadnya


Gamelan GambangSecara epistemologis, pengertian Pitra Yadnya muncul dari arti kata Pitra dan Yadnya. Dari beberapa sumber literatur, diketemukan berbagai pemaknaan terhadap kata “pitra”. Singgih Wikarma (2002) dalam bukunya Ngaben, menguraikan bahwa Pitra berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yadnya berasal dari kata Yaj berarti berkorban. Dari arti kata di atas, Pitra Yadnya berarti bentuk pengorbanan suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas kepada para leluhur. Di lain pihak Sudarsana (2002:9) menyebutkan bahwa “pitra” adalah sama pengertiannya dengan arwah dan “pitra” berasal dari kata “pitri” yang artinya unsur-unsur kekuatan Panca Maha Bhuta yang membentuk stula sarira (jasad).
Terdapatnya perbedaan pengertian di atas, hal ini karena menurut sumber acuan yang dipergunakan oleh masing-masing penulisnya. Namun demikian esensi dari upacara ini masih tetap sama dimana pada intinya pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan salah satu bentuk pengorbanan suci (yadnya) yang diperuntukkan bagi roh, arwah para leluhur atau orang-orang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, upacara ini merupakan upaya untuk mempercepat proses pengembalian/penyucian unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar kembali ke sumbernya.
Adapun bentuk upacara pitra yadnya memiliki runtutan dari upacara orang meninggal hingga distanakan atau tempatkan pada tempat suci keluarga (sanggah). Pada saat baru meninggal, kekuatan Panca Maha Bhuta (pitra/roh) orang yang meninggal disebut dengan “petra/pitri/pitra”, setelah dilaksanakan penyucian tahap pertama melalui upacara atiwa-tiwa (ngringkes), maka sebutan pitra meningkat menjadi “pitara” (pitarah). Selanjutnya setelah dilakukan penyucian melalui upacara ngaben, disertakan dengan pengaskaran maka kesuciannya akan meningkat sehingga mendapat sebutan Dewa Pitara. Penyucian Dewa Pitara melalui upacara pemukuran akan meningkatkan lagi Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara. Setelah berstatus Hyang Pitara, upacara penyuciannyapun terus dilaksanakan melalui upacara Nilapati yaitu ngunggahang Bethara Hyang di Kemulan, maka Hyang Pitara telah kembali ke sumbernya yaitu ke “Sang Hyang Prakerthi” dan pada saat inilah mendapat sebutan Bethara Hyang (Sudarsana, 2002:12).
Dapat disimpulkan bahwa, upacara Pitra Yadnya merupakan upacara penyucian yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal yang dilaksanakan melalui rangkaian upacara pengringkesan, pengabenan, memukur hingga nilapati atau ngelinggihang. Berkenaan dengan rangkaian upacara tersebut, salah satu aspek yang senantiasa mengiringi pelaksanaannya adalah adanya gamelan yang berfungsi sebagai musik pengiringnya.
Dalam pelaksanaannya di masyarakat Kota Denpasar, apabila dirinci dari awal pelaksanaan upacara pitra yadnya hingga rangkaiannya yang terakhir yaitu Nilapati digunakan berbagai jenis gamelan sebagai musik pengiringnya. Kebiasaan masyarakat di Kota Denpasar, terkait dengan rangakaian upacara tersebut dipergunakan gamelan Balaganjur, Gender Wayang, Angklung, Gong Kebyar, Gambang, Gong Luang (Saron).
Terkait dengan penggunaan gamelan Gambang dalam upacara pitra yadnya, pada salah satu lontar yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara Sawa Prateka disebutkan: Terjemahan secara bebas adalah sebagai berikut: Kalau mengadakan sawa prateka, pelaksanaannya berbadan mayat, memakai bade (wadah), menurut aturan keturunan (triwangsa), disertai banten taben, damar kurung, memakai petulangan (tempat pembakaran) lengkap sesuai dengan keperluannnya. Sorganya terletak di selatan, namanya budalaya, kawahnya geni murub (api berkobar), penghalangnya bernama dorokala dan kingkara. Bidadarinya Gagar mayang, Pendetanya Ramaperasu, Dewanya Bhatara Brahma, keseniannya adalah Gambang. Air Sucinya adalah kamandalu akhirnya dibakar di kuburan, abunya dihanyutkan di laut atau boleh juga ke sungai.
Dari uraian yang terdapat dalam lontar tersebut, jelas bahwa gamelan Gambang merupakan salah satu perangkat alat musik tradisional yang sangat diperlukan pada pelaksanaan upacara pitra yadnya di samping beberapa jenis gamelan lainnya. Hal ini juga terungkap dalam prasasti dan Purana Tatwa Pura Kelaci disebutkan bahwa gending Kebo Lelatik, Misa Gagang merupakan gending gambang yang dapat menghantarkan Sang Hyang Atma (roh) menuju sorga. Sebagaimana terdapat dalam purana tersebut (halaman 39), dalam rangka pelaksanaan upacara pelebonan (ngaben/pembakaran mayat) Sang Prabu ring Gelgel diuraikan sebagai berikut terjemahan bebas:
“… kalau tabuh gender menyesuaikan dengan jalur keliling bade (usungan mayat), wayang beber sudah diletakkan berjajar di tempat usungan mayat, suara kendang bergemuruh, angklung, kidung upacara sudah berbaris sesuai dengan urutannya. Di luar tempat persemayaman mayat Gong Gede dimainkan, Gong Saron di halaman puri. Gambang juga sudah dimainkan oleh I Gusti Ngurah Sentong, lagu Misa Gagang. Kebo Lelatik, Gagak Ora dan yang lainnya menyajikan jalinan nada yang sangat menyenangkan karena gending tersebut memang penghantar Sanghyang Atma (roh)…”
Dari uraian tersebut jelas bahwa gamelan Gambang merupakan salah satu gamelan yang memiliki nilai sakral dalam upacara pitra yadnya. Keberadaannya memiliki makna religius yang sangat penting yang dipercaya dapat menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sorga. Namun demikian, walaupun disebutkan bahwa gamelan Gambang merupakan gamelan penghantar roh, dalam pelaksanaanya tidak semua upacara pitra yadnya yang dapat mempergunakan gamelan gambang. Hal ini sangat tergantung dari tinggi-rendahnya tingkatan upacara yang dilaksanakan, sesuai dengan situasi, kondisi, derajat serta kemampuan financial penyelenggara upacara.
Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari berbagai sumber sastra yang berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana (2008:77-78) disebutkan ada empat tingkatan yaitu mewangun, prenawa, swasta dan ngerti parwa. Sesuai dengan situasi dan kondisi pelaksanaannya, masing-masing dari tingkatan tersebut dibagi lagi sehingga terdapat 10 bentuk pengabenan.
Upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan dalam tingkatan nista, madya dan utama sesuai dengan kemampuan dalam memenuhi berbagai persyaratannya. Pengabenan mewangun merupakan tingkatan pengabenan tertinggi dimana pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan kuantitas upacara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap menurut ketentuan sastra agama Hindu (Sudarsana, 2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya dilaksanakan bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, terhormat, pengaruh yang luas di masyarakat, seperti raja dan golongan ksatria lainnya, pendeta, pemangku desa. Pengabenan pranawa merupakan tingkatan upacara pengabenan yang kuantitasnya lebih kecil dari mewangun namun memiliki kualitas yang sama dan tergantung dari pelaksanannya. Berbagai kalangan (kedudukan dan kasta) dapat melaksanakan upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai dengan kemampuan dalam melaksanakannya. Sedangkan tingkatan upacara yang paling sederhana adalah swastha dan ngerti parwa.
Keterkaitan antara pemanfaatan gamelan Gambang dalam upacara ngaben, secara rinci telah disebutkan bahwa penggunaan gamelan ini dilakukan pada tingkatan tertinggi yang disebut dengan ngaben mewangun. Disajikannya Gambang dalam tingkatan pengabenan ini lebih disebabkan adanya keyakinan bahwa gending-gending yang disajikan seperti gending Kebo Lelatik, Misa Gagang, Gagak Ora dan yang lainnya dapat menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sorga. Sebagaimana diilustrasikan dalam pengabenan Ida Betara Dalem Gelgel selaku penguasa Bali pada masa yang lampau disebut beberapa perlengkapan upacara seperti bade tumpang 11 dengan berbagai kelengkapannya termasuk wayang beber, nagabanda, lembu, serta berbagai jenis kesenian seperti gong saron, gambang, gong metrompong (gong gede), angklung, baris poleng (ketekok jago) dan berbagai perlengkapan upacara lainnya. Keseluruhan perlengkapan tersebut diyakini untuk mempermudah pencapaian roh ke alam sorga.


Artikel Terkait:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

thx untuk komentarnya :)