Senin, 04 Februari 2013

Hubungan Seks di Luar Nikah Menurut Hindu

Prinsipnya, hubungan seks di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi pemeluk Hindu di Bali, diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang disebut: “tan paradara”.
Pengertian tan paradara ini diartikan luas sebagai menggoda, bersentuhan seks, berhubungan seks, bahkan menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/ suaminya yang sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan Parasaradharmasastra, hubungan seks senantiasa dianggap sebagai hal yang suci yang hanya diperkenankan setelah melalui proses pawiwahan yang menurut Manawadharmasastra ada delapan cara.
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang disahkan oleh PHDI tahun 1987 diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci menurut keyakinan agama Hindu) yang berhubungan dengan masalah seks di luar nikah (pawiwahan) sebagai berikut:
1. Wanita hamil tanpa beakaon dan “memitra ngalang” (kumpul kebo), yang kena cuntaka adalah wanita itu sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini berakhir bila dia dinikahkan dalam upacara pawiwahan.
2. Anak yang lahir dari kehamilan sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang kena cuntaka: si wanita (ibu), anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini berakhir bila anak itu ada yang “meras” yaitu diangkat sebagai anak dengan upacara tertentu.
Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan kepada wanita dan anak-anak saja. Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki pasangan zina/ kumpul kebonya apakah terkena cuntaka juga?
Secara tegas kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi dosa atas perbuatan paradara jelas disebutkan dalam Sarasamuscaya.
Selain itu pawiwahan yang menyimpang dari ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang disebutkan dalam Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.


Bolehkah Dalam Keadaan Hamil Mengikuti Upacara Potong Gigi?

Ibu-Ibu/ Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan melakukan upacara potong gigi/ mepandes. Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka. Penjelasan:
1. Mepandes adalah suatu upacara yang menyebabkan diri cuntaka.
Lamanya cuntaka, saat dia naik ke bale petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan mabeakala. Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan waktu antara 1-2 jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu kena cuntaka.
2. Bayi atau jabang bayi yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede – lepra, aids dll).
Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan.

Sesangi

Sesangi disebut sebagai “bebeligan” artinya tergelincir, maksudnya keliru. Disebut juga “saud atur” artinya salah ucapan, maksudnya juga keliru. Keliru yang bagaimana?
Keliru dalam menjalin hubungan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Kasih sayang kepada Hyang Widhi disebut BHAKTI. Cara kita ber-bhakti yang benar adalah dengan meresapi dan menjalani kehidupan sesuai dengan aturan-Nya.
Perhatikanlah Mantram Gayatri, Puja Trisandya, Kramaning sembah. Tidak ada satu kata pun yang berbentuk sesangi. Inti segala doa adalah semoga Hyang Widhi yang Maha Kuasa memberikan petunjuk kepada kita di jalan Dharma, serta mohon pengampunan atas pelanggaran-pelanggaran Trikaya parisudha.
Dengan mesesangi, secara tidak sadar anda mengungkung atman kepada kondisi keterikatan. Di sinilah letak kekeliruannya. Mestinya segala aktivitas didorong atau dimotivasi oleh niat melaksanakan Dharma sebaik-baiknya, tanpa memikirkan atau menghayalkan hasilnya.
Ingat catur purusha artha: DHARMA, ARTHA, KAMA, MOKSA. Dharma hendaknya dilaksanakan terlebih dahulu, karena dengan Dharma Hyang Widhi akan melimpahkan karunia-Nya berupa Artha, kemudian dengan Artha manusia bisa memenuhi Kama (kebutuhan hidup: sandang, pangan, papan, dll).
Ketiga unsur itu yang dapat mengantarkan manusia ke alam Moksa. Jadi singkatnya, dengan mesesangi anda terperosok dalam motivasi: RESULT ORIENTED, bukan PROCESS ORIENTED.

Upacara Tiga Bulanan dan Otonan

Urutan upacara:
  1. Ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
  2. Nyama bajang dan kandapat “diundang” untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
  3. Si Bayi natab banten bajang colong, artinya menerima lungsuran (prasadam) dari “kakaknya”, yaitu kandapat (plasenta: ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom).
  4. Si Bayi “mepetik” (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut “kotor” yang dibawa sejak lahir).
  5. Si Bayi “mapag rare” (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah di depan Kemulan.
  6. Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara, yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
  7. Si Bayi “mejaya-jaya” dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.
Simbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan:
  1. Regek, yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai simbol Nyama Bajang;
  2. Papah, yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai simbol ari-ari,
  3. Pusuh, yaitu jantung pisang sebagai simbol getih (darah),
  4. Batu, sebagai simbol yeh-nyom,
  5. Blego, sebagai simbol lamas,
  6. Ayam, sebagai simbol atma,
  7. Sebuah periuk tanah yang pecah, sebagai simbol kandungan yang sudah melahirkan bayi,
  8. Lesung batu, sebagai simbol kekuatan Wisnu,
  9. Pane, simbol Windu (Hyang Widhi),
  10. Air dalam pane, simbol akasa,
  11. Tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap , sebagai simbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).
Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.

Pitra Yadnya

1. Pitra Yadnya terdiri dari empat tahapan upacara, yaitu:
  1. Ngaben: melepaskan ikatan roh pada tubuh manusia (panca mahabhuta)
  2. Nyekah/ Ngroras: melepaskan ikatan roh pada pengaruh panca indria (panca tanmatra)
  3. Mepaingkup: menstanakan roh di sanggah pamerajan
  4. Meajar-ajar: ‘nangkilang’ roh ke pura-pura tertentu
2. Diantara proses ngaben dan nyekah, ada upacara nyegara-gunung, tujuannya adalah mensucikan roh ke segara dan memohon anugrah ke gunung sebagai sumber kemakmuran.
Pura-pura yang biasa dituju untuk upacara nyegara gunung misalnya: goa lawah, tanah lot, pulaki, ponjok batu, silayukti, rambut siwi, dll.
3. Pura-pura yang dituju dalam upacara meajar-ajar adalah: lempuyang, silayukti, dasar bhuwana – gelgel, dan besakih.
4. Upacara mendak nuntun Dewa Hyang dilakukan tidak dalam rangkaian Pitra Yadnya. Upacara ini hanya satu kali saja dilakukan, yakni di saat membangun pelinggih Dewa Hyang atau Raja-Dewata di sanggah pamerajan.
Prosedurnya: nuntun di Pura Dalem Puri, Besakih, kemudian dilanjutkan dengan nangkilang ke Pura-pura tertentu, dalam perjalanan kembali pulang.
5. Rangkaian upacara di beberapa soroh dan beberapa desa ada yang berbeda, sebabnya:
  1. kurang memahami makna upacara-upacara dimaksud.
  2. mengikuti dresta yang juga tidak diketahui sumber sastranya yang tepat.
6. Upakara yang digunakan dalam upacara-upacara itu, tergantung kemampuan masing-masing. Upakara/ banten yang minimal: pejati. Bila dananya cukup, boleh menggunakan suci agung dengan ulam bebek dan mesalaran.

Nyegara Gunung

Filosofi upacara nyegara gunung: nyegara (ke-segara) mensucikan roh leluhur dengan sapta (7) gangga (air suci), yakni 7 sungai suci di India: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Narmada, Sarayu.
Di tempat-tempat tersebut Weda diwahyukan kepada 7 Maha Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, Kanwa.
Oleh karena kita di Bali tidak mungkin nangkilang roh leluhur ke sungai-sungai itu dan dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu semuanya bermuara ke laut, dan laut di dunia menyatu, maka bagi kita laut telah disucikan oleh ke-7 sungai itu.
Maka timbullah keyakinan adanya tirta amertha kamandalu itu di tengah laut (ring telenging samudra).
Jadi dengan mengiring roh leluhur ke laut (Pura-Pura didekat laut: Pulaki, Ponjok Batu, Rambut Siwi, Tanah Lot, Klotok, Goa Lawah, dll) maka sudah sama dengan pergi metirta yatra ke ke-7 sungai suci di India itu.
Gunung adalah sumber kemakmuran, karena gunung sarana turunnya hujan – air (Bhatara Wisnu).
Jadi nangkilang roh leluhur ke gunung (Pura-Pura di pegunungan: Besakih, Lempuyang, Andakasa, Puncak Mangu, dll) bermakna mohon rezeki (kemakmuran) bilamana nanti roh leluhur diharuskan oleh Sanghyang Yamadipati untuk lahir kembali ke dunia (reinkarnasi)
Pura-Pura yang “wajib” dikunjungi bagi semeton Pasek dalam upacara meajar-ajar (nyegara gunung), urut-urutannya:
  1. Lempuyang (Telaga Sawang, Puncak Bisbis, Lempuyang Madya, Pasar Agung, Lempuyang Luhur)
  2. Silayukti (Pura Mpu Kuturan dan Pura Mpu Bharadah)
  3. Goa Lawah
  4. Pura Dasar Bhuwana Gelgel
  5. Pura Dalem Puri (Besakih)
  6. Pedarmaan Pasek (Besakih)
  7. Penataran Agung (Besakih)
Banten di tiap-tiap Pura itu: Suci Agung dan Pejati (23) dan untuk di Goa Lawah dan di Dalem Puri Suci Agung ditambah salaran bebek selem dan ayam selem.
Setelah pulang, daksina lingga (stana roh leluhur) dimasukkan kembali ke merajan (pelinggih Raja Dewata/ Hyang Kompyang) dengan banten suci akedengan.
Buku acuan: Berbakti pada leluhur, Upacara Pitra Yadnya dan Upacara Nuntun Dewa Hyang. I Ketut Wiana, Paramita, 1998

Om Swastiastu - salam sekaligus doa

Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. Dan saat ini UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan maupun pertemuan resmi lainnya, adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.
adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa. Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya. 
Rsi Dharmakertipun mulailah: 
“Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah anakndaapa artinya? 
Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan. 
Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”.
Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi. 
Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi. 
Sang Suyasa: 
Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar dmeikian, lalu hamba ikut-ikutan saja. 
Rsi Dharmakerti: 
Memanglah demikian tingi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya. Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu?
Rsi Dharmakerti
Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi” Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat. 
Hanya yang lebih tua patut memakai Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan. 
Sang Suyasa
Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba. Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri. Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut. 

Umat Hindu di India umumnya mengucapkan NAMASTE kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan Om naamo namah. Inti semua ucapan itu pada kata naama, yang dalam bahasa Sansekerta artinya menghormat. 
Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan sembah. Kata sembah dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti.  
Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri.
Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi. 
adapun posisi cakupan tangan yang biasa dipakai saat menyembah:
  1. Kalau menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya. 
  2. Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia. 
  3. Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata. 
  4. Hanya menyembah Tuhanlah tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati. 
Biasanya penggunaan “Swastyastu” disertai dengan kata “Om” menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini lumrah digunakan sebagai salam awal, begitu juga dengan kata “Swastiprapta” (selamat datang). Namun di beberapa tempat di luar bali kata “Swastyastu” juga digunakan sebagai salam akhir perjumpaan atau percakapan. Itu yang membuat rasa ingin tahu saya semakin besar untuk mengetahui arti sebenarnya kata tersebut agar tidak menjadi sebuah kekeliruan yang membudaya. Memang pada dasarnya bahasa bersifat mana suka dan berlaku jika diakui dan digunakan oleh banyak orang. Dalam kesempatan ini saya mencoba menelaah kata tersebut dengan mencari artinya pada beberapa literatur kamus yang ada (apang tusing oranga milu-milu tuwung, nak mula keto….!!!). 
Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Purana-lah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan. 
Dalam Bhagawad Gita kata "Om" ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan. 
Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. 
Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng. 
Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika. 
Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat. 
  1. Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat. 
  2. Kamus Kawi-BaliSwastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
  3. Kamus Jawa Kuna-IndonesiaSwasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera. 
  4. Kamus Sanskerta-IndonesiaSvasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. 
Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu: 
  • pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tingga
  • kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan. 
Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang). 
Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang). 
Namun kini di kota-kota besar, kata “swastyastu” juga digunakan sebagai salam penutup atau akhir sebuah percakapan. Bagi orang desa seperti saya, terus terang saja ketika mendengarnya terasa aneh di telinga saya, sampai pada akhirnya saya penasaran tentang penggunaan kata tersebut sebagai salam penutup dan mencari arti kata tersebut dalam beberapa kamus-kamus yang ada. Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas (mungkin karena saya awam atau kurang terbiasa mendengarnya). 
Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal. Pada kesempatan ini saya juga mencoba menyampaikan beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastyastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain: “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan; “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai. 
Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali. 
Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan. 
Demikian yang dapat saya tulis pada kesempatan ini, apabila ada kekurangannya mohon ditambahkan. Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan.Suksma. 



Banten Pejati - Cara Membuat Dan Kajian Filosofis

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.

Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan:
Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:
  1. Daksina
  2. Banten Peras,
  3. Banten Ajuman/Soda
  4. Ketupat Kelanan
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian Pesucian
  7. Segehan alit

Sarana yang Lain
  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Siapa yang menerima Banten pejati ?
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
  • Peras kepada Sanghyang Isvara
  • Daksina kepada Sanghyang Brahma
  • Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
  • Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 
Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan

Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang.

berbagai sumber hery-purnayasa.blogspot.com