Kata Pengantar
Om Swastiastu,

Sembah Bhakti Saya kehadapan Hyang Maha Suci Dewa Siwa, atas segala anugerah Beliau kepada Saya. Semoga Beliau selalu memberi petunjuk, bimbingan dan perlindungan kepada kita semua. Rasa cinta yang sangat mendalam juga Saya sampaikan kepada anda sekalian. Atas dukungan anda sehingga kedamaian bisa terwujud dalam hidup kita ini.

Marilah kita bersama mencari yang hilang didalam kepribadian kita, sehingga semakin jauh rasanya kedamaian itu dari kehidupan kita.Yang hilang itu antara lain adalah Jati Diri. Untuk mengembalikan jati diri itu, haruslah dimulai dari membangkitkan rasa Bhakti kehadapan Beliau, rasa saling mencintai dengan sesama dan rasa kasih terhadap alam lingkungan.

Bila hal itu bisa kita bangkitkan di dalam kehidupan sehari - hari, kedamaian akan segera dapat kita rasakan bersama. Marilah kita cari yang hilang agar segera kita dapati kembali.
   
                    "Selama Engkau Menganggap Tuhan 
                                          Selalu Berada Diluar Dirimu
                                                         Selama Itu Pula Engkau Akan Berbuat Jahat"

Om Santhi Santhi Santhi Om


Senin, 04 Februari 2013

Hubungan Seks di Luar Nikah Menurut Hindu

Prinsipnya, hubungan seks di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi pemeluk Hindu di Bali, diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang disebut: “tan paradara”.
Pengertian tan paradara ini diartikan luas sebagai menggoda, bersentuhan seks, berhubungan seks, bahkan menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/ suaminya yang sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan Parasaradharmasastra, hubungan seks senantiasa dianggap sebagai hal yang suci yang hanya diperkenankan setelah melalui proses pawiwahan yang menurut Manawadharmasastra ada delapan cara.
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang disahkan oleh PHDI tahun 1987 diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci menurut keyakinan agama Hindu) yang berhubungan dengan masalah seks di luar nikah (pawiwahan) sebagai berikut:
1. Wanita hamil tanpa beakaon dan “memitra ngalang” (kumpul kebo), yang kena cuntaka adalah wanita itu sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini berakhir bila dia dinikahkan dalam upacara pawiwahan.
2. Anak yang lahir dari kehamilan sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang kena cuntaka: si wanita (ibu), anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini berakhir bila anak itu ada yang “meras” yaitu diangkat sebagai anak dengan upacara tertentu.
Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan kepada wanita dan anak-anak saja. Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki pasangan zina/ kumpul kebonya apakah terkena cuntaka juga?
Secara tegas kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi dosa atas perbuatan paradara jelas disebutkan dalam Sarasamuscaya.
Selain itu pawiwahan yang menyimpang dari ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang disebutkan dalam Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.


Bolehkah Dalam Keadaan Hamil Mengikuti Upacara Potong Gigi?

Ibu-Ibu/ Wanita yang sedang hamil tidak dibolehkan melakukan upacara potong gigi/ mepandes. Dasar acuannya: Lontar Catur Cuntaka. Penjelasan:
1. Mepandes adalah suatu upacara yang menyebabkan diri cuntaka.
Lamanya cuntaka, saat dia naik ke bale petatahan, selama metatah, dan sampai selesai, diakhiri dengan mabeakala. Setelah mabeakala barulah cuntakanya hilang. Prosesi itu memakan waktu antara 1-2 jam. Walaupun masa cuntaka itu singkat, tetap saja Ibu itu kena cuntaka.
2. Bayi atau jabang bayi yang ada dalam kandungan adalah roh suci yang patut dihormati, dipuja atas perkenan Sanghyang Widhi yang “mengijinkan” roh itu menjelma kembali menjadi manusia (walaupun masih berupa janin).
Jadi Ibu yang mengandung bayi yang suci, patut dihindarkan dari penyebab-penyebab cuntaka. Tidak hanya potong gigi saja, tetapi juga semua jenis cuntaka, misalnya: ngelayat orang mati, mengunjungi penganten (pawiwahan), memegang orang-orang sakit (sakit gede – lepra, aids dll).
Jadi demi keselamatan Ibu dan Bayi, sebaiknya upacara potong gigi itu ditunda sampai bayinya lahir dan sudah berusia lebih dari 3 bulan.

Sesangi

Sesangi disebut sebagai “bebeligan” artinya tergelincir, maksudnya keliru. Disebut juga “saud atur” artinya salah ucapan, maksudnya juga keliru. Keliru yang bagaimana?
Keliru dalam menjalin hubungan kasih sayang kepada Hyang Widhi. Kasih sayang kepada Hyang Widhi disebut BHAKTI. Cara kita ber-bhakti yang benar adalah dengan meresapi dan menjalani kehidupan sesuai dengan aturan-Nya.
Perhatikanlah Mantram Gayatri, Puja Trisandya, Kramaning sembah. Tidak ada satu kata pun yang berbentuk sesangi. Inti segala doa adalah semoga Hyang Widhi yang Maha Kuasa memberikan petunjuk kepada kita di jalan Dharma, serta mohon pengampunan atas pelanggaran-pelanggaran Trikaya parisudha.
Dengan mesesangi, secara tidak sadar anda mengungkung atman kepada kondisi keterikatan. Di sinilah letak kekeliruannya. Mestinya segala aktivitas didorong atau dimotivasi oleh niat melaksanakan Dharma sebaik-baiknya, tanpa memikirkan atau menghayalkan hasilnya.
Ingat catur purusha artha: DHARMA, ARTHA, KAMA, MOKSA. Dharma hendaknya dilaksanakan terlebih dahulu, karena dengan Dharma Hyang Widhi akan melimpahkan karunia-Nya berupa Artha, kemudian dengan Artha manusia bisa memenuhi Kama (kebutuhan hidup: sandang, pangan, papan, dll).
Ketiga unsur itu yang dapat mengantarkan manusia ke alam Moksa. Jadi singkatnya, dengan mesesangi anda terperosok dalam motivasi: RESULT ORIENTED, bukan PROCESS ORIENTED.

Upacara Tiga Bulanan dan Otonan

Urutan upacara:
  1. Ayah dan ibu bayi mebeakala dengan tujuan menghilangkan cuntaka karena melahirkan.
  2. Nyama bajang dan kandapat “diundang” untuk dihaturi sesajen sebagai ucapan terima kasih karena telah merawat bayi sejak dalam kandungan sampai lahir dengan selamat. Tattwa yang sebenarnya adalah syukuran kehadapan Hyang Widhi atas kelahiran bayi.
  3. Si Bayi natab banten bajang colong, artinya menerima lungsuran (prasadam) dari “kakaknya”, yaitu kandapat (plasenta: ari-ari, getih, lamas, yeh-nyom).
  4. Si Bayi “mepetik” (potong rambut, terus digundul, menghilangkan rambut “kotor” yang dibawa sejak lahir).
  5. Si Bayi “mapag rare” (disambut kelahirannya) di Sanggah pamerajan, memberi nama, dan menginjakkan kaki pertama kali di tanah di depan Kemulan.
  6. Si Bayi menerima lungsuran (prasadam) Hyang Kumara, yaitu manifestasi Hyang Widhi yang menjaga bayi.
  7. Si Bayi “mejaya-jaya” dari Sulinggih, yaitu disucikan oleh Pendeta.
Simbol (niyasa) yang digunakan dalam upacara Tiga Bulanan:
  1. Regek, yaitu anyaman 108 helai daun kelapa gading berbentuk manusia, sebagai simbol Nyama Bajang;
  2. Papah, yaitu pangkal batang daun kelapa gading sebagai simbol ari-ari,
  3. Pusuh, yaitu jantung pisang sebagai simbol getih (darah),
  4. Batu, sebagai simbol yeh-nyom,
  5. Blego, sebagai simbol lamas,
  6. Ayam, sebagai simbol atma,
  7. Sebuah periuk tanah yang pecah, sebagai simbol kandungan yang sudah melahirkan bayi,
  8. Lesung batu, sebagai simbol kekuatan Wisnu,
  9. Pane, simbol Windu (Hyang Widhi),
  10. Air dalam pane, simbol akasa,
  11. Tangga dari tebu kuning sepanjang satu hasta diberi palit (anak tangga) tiga buah dari kayu dapdap , sebagai simbol Smara-Ratih (Hyang Widhi yang memberi panugrahan kepada suami-istri).
Upacara otonan lebih sederhana dari tiga bulanan, karena tujuannya mengucapkan syukur kepada Hyang Widhi atas karunia berupa panjang umur, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan.