Senin, 04 Februari 2013

Nyegara Gunung

Filosofi upacara nyegara gunung: nyegara (ke-segara) mensucikan roh leluhur dengan sapta (7) gangga (air suci), yakni 7 sungai suci di India: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Narmada, Sarayu.
Di tempat-tempat tersebut Weda diwahyukan kepada 7 Maha Rsi: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, Kanwa.
Oleh karena kita di Bali tidak mungkin nangkilang roh leluhur ke sungai-sungai itu dan dengan pengertian bahwa ketujuh sungai suci itu semuanya bermuara ke laut, dan laut di dunia menyatu, maka bagi kita laut telah disucikan oleh ke-7 sungai itu.
Maka timbullah keyakinan adanya tirta amertha kamandalu itu di tengah laut (ring telenging samudra).
Jadi dengan mengiring roh leluhur ke laut (Pura-Pura didekat laut: Pulaki, Ponjok Batu, Rambut Siwi, Tanah Lot, Klotok, Goa Lawah, dll) maka sudah sama dengan pergi metirta yatra ke ke-7 sungai suci di India itu.
Gunung adalah sumber kemakmuran, karena gunung sarana turunnya hujan – air (Bhatara Wisnu).
Jadi nangkilang roh leluhur ke gunung (Pura-Pura di pegunungan: Besakih, Lempuyang, Andakasa, Puncak Mangu, dll) bermakna mohon rezeki (kemakmuran) bilamana nanti roh leluhur diharuskan oleh Sanghyang Yamadipati untuk lahir kembali ke dunia (reinkarnasi)
Pura-Pura yang “wajib” dikunjungi bagi semeton Pasek dalam upacara meajar-ajar (nyegara gunung), urut-urutannya:
  1. Lempuyang (Telaga Sawang, Puncak Bisbis, Lempuyang Madya, Pasar Agung, Lempuyang Luhur)
  2. Silayukti (Pura Mpu Kuturan dan Pura Mpu Bharadah)
  3. Goa Lawah
  4. Pura Dasar Bhuwana Gelgel
  5. Pura Dalem Puri (Besakih)
  6. Pedarmaan Pasek (Besakih)
  7. Penataran Agung (Besakih)
Banten di tiap-tiap Pura itu: Suci Agung dan Pejati (23) dan untuk di Goa Lawah dan di Dalem Puri Suci Agung ditambah salaran bebek selem dan ayam selem.
Setelah pulang, daksina lingga (stana roh leluhur) dimasukkan kembali ke merajan (pelinggih Raja Dewata/ Hyang Kompyang) dengan banten suci akedengan.
Buku acuan: Berbakti pada leluhur, Upacara Pitra Yadnya dan Upacara Nuntun Dewa Hyang. I Ketut Wiana, Paramita, 1998


Artikel Terkait:

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

thx untuk komentarnya :)