Senin, 02 April 2012

Filosofi Selonding Dalam Tatwa Hindu

      Filosofi Selonding Dalam Tatwa Hindu

      Selonding merupakan seni musik tradisional yang diperkirakan hidup sejak zaman Bali Kuno, di mana imperium kerajaan Majapahit belum masuk ke tanah Bali. Hanya, selonding sebagai seni tradisi manusia Bali Kuno tidak mendapat banyak perhatian dari kekuasaan raja-raja utusan Majapahit. Kesenian yang dikembangkan di Bali ketika itu hanyalah kesenian kraton yang dibawa seniman-seniman tanah Jawa. Akibatnya selonding terabaikan bahkan nyaris mengalami kepunahan. Sebagai khazanah peradaban manusia Bali Kuno, kajian sejarah terhadap selonding perlu kembali dilakukan untuk menghidupkan kembali kesenian yang memiliki kekuatan membawa ketenangan ini.Gamelan Selonding yang terbuat dari besi ini berlaras pelog tujuh nada ini tergolong barungan alit yang langka dan sangat disakralkan oleh masyarakat desa Tenganan Pagringsingan dan Bongaya (kabupaten karangasem).Gamelan ini dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara adat di Bali Aga yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan untuk mengiringi tari Abuang,Perang Pandan (Makare-karean) dan lain-lain. Gambelan Selonding adalah merupakan peninggalan dari kegiatan berkesenian nenek moyang kita di masa silam.
Gambelan ini berfungsi menyajikan tabuh-tabuh petegak atau tanpa disertai tari-tarian, baik dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara Agama serta kepentingan-kepentingan lainnya. Namun perlu diketahui hanya dalam upacara Agama pada hari raya-hari raya tertentu saja Gamelan Slonding ini ditabuh atau dibunyikan, Gambelan Selonding merupakan salah satu gamelan yang di sakralkan oleh masyarakat desa Tenganan pangringsingan, Di kalangan masyarakat Tenganan Pagringsingan gamelan Selonding diberi nama Bhatara Bagus Selonding.
Sejarah munculnya Selonding dikaitkan dengan sebuah mitologi yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu orang-orang Tenganan mendengar suara gemuruh dari angkasa yang datang secara bergelombang. Pada gelombang pertama suara itu turun di Bongaya (sebelah timur laut Tenganan) dan pada gelombang kedua suara itu turun didaerah Tenganan Pagringsingan. Setelah hilangnya suara itu diketemukan gamelan Selonding (yang berjumlah tiga bilah). Bilah-bilah itu kemudian dikembangkan sehingga menjadi gamelan Selondin seperti sekarang. Gambelan Selonding memang masih dapat bertahan dari terpaan gelombang peradaban manusia dalam rentang waktu yang cukup lama, dan ini hanya dimungkinkan oleh adanya suatu vitalitas nilai universal yang terkandung di dalamnya dan terjalin erat dengan masyarakat pendukungnya.
Barungan gamelan selonding terdiri dari delapan buah instrumen antara lain dua buah gangsa,empat buah oncangan dan dua buah penerang. Kalau dilihat bentuk keseluruhannya hampir semua sama yaitu berbentuk trapesium.
Adapun masing-masing pelawah selonding mempunyai ukuran sebagai berikut:
1.Instrumen gangsa wadon.
Panjang bagian atas : 76 cm
Panjang bagian bawah:69 cm
Lebar : 15,5 cm
Tinggi : 25 cm
2.Instrumen gangsa lanang
Panjang bagian atas: 76 cm
Panjang bagian bawah: 67 cm
Lebar: 14 cm
Tinggi: 25 cm
3.Instrumen oncangan lanang I
Panjang bagian atas: 41 cm
Panjang bagian bawah: 36 cm
Lebar: 15 cm
Tinggi: 20 cm
4,Instrumen oncangan wadon I
Panjang bagian atas: 43,5 cm
Panjang bagian bawah: 33,5 cm
Lebar: 18,5 cm
5.Instrumen oncangan wadon II
Panjang bagian atas: 57 cm
Panjang bagian bawah: 43 cm
Lebar: 18,5 cm
Tinggi: 20 cm
6.Instrumen oncangan lanang II
Panjang bagian atas: 43,5 cm
Panjang bagian bawah: 41 cm
Lebar: 16,5 cm
Tinggi: 20 cm
7.Instrumen penerang lanang
Panjang bagian atas: 61,5 cm
Panjang bagian bawah: 55 cm
Lebar: 16,5 cm
Tinggi: 21 cm
8.Instrumen penerag wadon
Panajng bagian atas: 61,5 cm
Panjang bagian bawah: 54 cm
Lebar: 16,5 cm
Tinggi: 21 cm
Sesuai dengan struktur dari lagu-lagu selonding bahwa tiap-tiap inbstrumen mempunyai tugas yang berbeda-beda dalam barungannya. Adapun tugas-tugas itu ialah seperti berikut:
  • Gangsa lanang, jumlah bilahnya delapan buah bertugas mengendalikan melodi lagu. Urutan nadanya: dong – dang – deng – dung – dang – dong – ding – dong .
  • Gangsa wadon, jumlah bilahnya delapan buah, bertugas mengendalikan melodi lagu. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng – dung – dang – dong – ding.
  • Oncangan lanang I, jumlah bilahnya empat buah, bertugas menjalin kotekan/ cecandetan. Urutan nadanya : dung – dang – dong – ding .
  • Oncangan lanang II, jumlah bilahnya empat , bertugas menjalin kotekan / cecandetan. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng
  • Oncangan wadon I, jumlah bilahnya empat buah , bertugas menjalin kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng .
  • Oncangan wadon II, jumlah bilahnya empat buah , betugas membuat jalinan kotekan/cecandetan. Urutan nadanya : dung – dang – dong – ding.
  • Penerag lanang, jumlahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan nadanya: dung – dong – ding.
  • Penerag wadon, julah bilahnya empat buah, bertugas memperjelas tekanan lagu. Urutan nadanya : ding – dong – dang – deng .
Adapun gending selonding yang sering di mainkan yaitu:
  • Ø Sekar gadung
  • Ø Nyangnyangan
  • Ø Rejang gucek
  • Ø Rejang ileh dll


Sumber : ni ketut suryatini.

Gong Suling bersifat Melodi Unisono

GONG SULING
    Gong Suling pada dasarnya merupakan pengembangan dari Gong Kebyar, teknik tabuh yang digunakan hampir semuanya berasal dari Gong kebyar, hanya saja pembawa melodinya tidak lagi gangsa yang terbuat dari krawang melainkan sejumlah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda. Gong Suling diperkuat dengan melodi bersifat unisono oleh ricikan rebab dengan memiliki dua utas dawai yang disebut wadon dan lanang. Terkait dengan fungsi suling dalam seni karawitan kebyar, hingga saat belum diketahui secara pasti kapan instrumen suling masuk sebagai bagian barungan gamelan tersebut. Munculnya gamelan gong kebyar sebagai salah satu bentuk ensambel baru dalam seni karawitan Bali pada abad XIX, tidak dijumpai adanya penggunaan suling dalam komposisi-komposisi kekebyaran yang diciptakan. Penyajian komposisi ”kebyar” yang dinamis, menghentak-hentak serta pola-pola melodi yang ritmis tidak memungkinkan bagi suling untuk dimainkan di dalamnya. kesenian ini adalah salah satu kesenian tua yang ada di kabupaten Jembrana. kesenian ini hanya ditampilkan pada saat ada upacara keagamaan saja. Namun dengan perubahan jaman, kesenian ini berubah menjadi sebuah seni umum yang dipertontonkan.

Sajian Gong Suling didominasi oleh suling. Diawali dengan ber­jajarnya para pemain suling dengan pemain Rincik, klenang dan klenyir di dalam sajiannya. Para pemain saling mengisi dalam sajian yang secara tidak langsung mengambil pola dari gong kebyar tersebut. Terjadinya per­kembangan fungsi suling tersebut merupakan salah satu fenomena yang sangat menarik dimana suling yang pada awalnya memiliki fungsi sekunder yaitu instrumen pendukung, berkembang menjadi instrumen primer yaitu instrumen utama.

Gamelan Gong Suling adalah barungan gamelan yang didominir oleh alat-alat tiup suling bambu yang didukung oleh instrumen-instrumen lainnya. Gamelan ini berlaraskan pelog lima nada.

Gong Suling pada hakekatnya merupakan pengembangan dari Gong Kebyar, tabuh – tabuh yang dibawakan hampir semuanya berasal dari Gong Kakebyaran, hanya saja pembawa melodinya tidak lagi gangsa yang terbuat dari krawang melainkan sejumlah suling bambu dengan ukuran yang berbeda-beda.

Salah Satu instrumen alam Gong Suling adalah terdapatnya suling bambu yang besar ukurannya. Panjangnya ada sekitar 35 inci dan berdiameter 1,7 inci. Wilayah nadanya lebih sedikit dari dua oktaf dan bermula pada nada B, di bawah nada C pusat. Ini adalah jenis suling vertikal dengan tiup ujung dan merupakan suling bass. Suling tersebut pada bagian bawah jika sedang dimainkan dalam kedudukan vertikal maka akan terbuka. Pada bagian bawah diraut atau diiris sedikit dari buku ruasnya. Lubang-lubang jari yang dinamakan song, terdapat pada bagian atas dari suling dan jumlahnya diselaraskan dengan tangga nada yang diperlukan. Ukuran suling pada kesenian Gong Suling yang panjang tersebut, mengharuskan pemainnya merentangkan tangannya dalam memainkan atau meniupnya dan ujungnya yang terbuka harus ditopangkan ke tanah.

Instrumen-instrumen yang digunakan dalam Gamelan Gong Suling ialah:

1. 2 (dua) buah kendang

2. 1 (satu) buah kajar

3. 1 (satu) buah kemong

4. 1 (satu) buah ceng-ceng kecek

5. 1 (satu) buah gong pulu

6. 1 (satu) buah kempur

7. 2 (dua) buah suling berukuran kecil

8. 4 (empat) buah suling berukuran sedang

9. 2 (dua) buah suling berukuran besar.
Lagu yang dimainkan dalam Gamelan gong Suling terdiri dari:

Gending petegak

Gending petegak yang dimaksud ialah gending-gending yang disajikan secara instrumental. Garis yang tegas untuk menyatakan cirri-ciri ini memang belum mengikat dalam hubungan praktik karawitan dalam masyarakat luas dewasa ini. Pengaruh kreasi local dimana instrument yang bersangkutan hidup sangat sering mempengaruhi fungsi atau tugas-tugas dari sebuah ansambel/barungan gamelan. Gending-gending petegak ini disajikan saat-saat diadakannya upacara adat-keagamaan. Sering juga karawita tari disajikan sebagai gending-gending petegak.

Penyajian gending-gending petegak seperti disinggung diatas, bentuknya bentuknya termasuk jenis-jenis tabuh. Ada bagian-bagian tertentu cara memainkannya diulang-ulang dan bagian penghubung yang berfungsi sebagai perantara dari bagia-bagian yang dihubungkan. Bagian yang harus diulang tidak diharuskan dengan satu perhitungan pasti, tetapi tergantung berapa kali pemain ingin mengulang bagian tertentu itu, kemudian beralih dengan kode-kode tertentu dari satu atau lebih alat yang berfungsi mengendalikan irama (biasanya instrument kendang) dan yang mengendalikan melodi (biasanya instrument terompong) atau kalau tidak memakai instrument terompong biasanya yang mengendalikan melodi adalah instrument gangsa giing. Alat pengendali irama dengan pengendali melodi bekerjasama untuk memimpin tempo, dinamika, dan tujuan penyajian pada waktu lagu itu beralih. Demikian juga kerjasama antara kedua tugas alat pengendali irama dan pengendali melodi selalu dibutuhkan dalam menyelesaikan lagu.

Adapun tabuh petegak yang dimainkan dalam barungan Gamelan Gong Suling diantaranya:

1. Sinom ladrang

2. Lengker

3. Selisir.

4. Sekar gadung

5. Bapang gede, dll

Gending untuk mengiringi tari

Sistim penyajian gending-gending jenis ini disesuaikan dengan kepentingan penyajian tarian yang diiringi. Jumlah dan jenis gending-gending ini sangat banyak, sama banyak dengan jumlah dan jenis tari-tarian yang ada. Hampir semua jenis barungan gamelan Bali dapat dipakai untuk mengiringi tari-tarian, kecuali barungan gamelan Gambang belum popular untuk kepentingan musik iringan tari. Dalam hubungan dengan gending-gending iringan tari, maka gending yang termasuk jenis gending pengilak memegang posisi yang menonjol. Sering juga beberapa jenis gending untuk satu iringan tari, meskipun dimainkan hanya dengan satu barungan gamelan saja.

Gamelan angklung

Gambelan angklung

Gambelan angklung adalah gambelan khas bali yang sering digunakan dalam prosesi/upacara kematian. Gambelan angklung menggunakan laras selendro dan tergolong barungan madya yang di bentuk oleh instrument berbilah dan berpencon dari krawang, kadang-kadang ditambah dengan angklung kocok (yang ukuran keci).
Di bali selatan gambelan ini hanya menggunakan 4(empat) nada sedangkan di bali utara menggunakan 5(lima) nada. Berdasarkan konteks penggunaan gambelan ini serta materi tabuh  yang dibawakan angklung dapat dibedakan menjadi :
Angklung klasik   :  Di mainkan untuk mengiringi upacara (tanpa tari-tarian)
Angklung kebyar  : Di mainkan untuk mengiringi pegelaran tari maupun drama
Satu barung gambelan angklung bias berperan sebagai keduanya, karena sering kali menggunakan penabuh yang sama. Di kalangan masyarakat yang luas gambelan ini di kenal sebagai pengiring upacara  Pitra Yadnya(ngaben). Di sekitaran Denpasar dan beberapa tempat lainnya, penguburan mayat di iringi dengan gambelan angklung yang menggantikan fungsi gambelan gong gede yang di pakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadya (odalan) atau juga upacara lainnya.
instrument gambelan angklung terdiri dari :                                                                                                                             * 6-8 pasang alat yang terdiri dari sepasang jegogan, jublag, dan selebihnya pemade dan kantilan
* 3-4 pencon, reong angklung kebyar menggunakan 12 pencon
* 2 buah kendang kecil klasik dan 2 buah kendang besar jika memainkan angklung kebyar
* 1buah tawa-tawa
* 1 buah kempur kecuali angklung kebyar menggunakan gong
Gangsa angklung adalah suatu instrument yang mempunyai 4(empat) bilah nada yang terdiri dari (neng,ndung,ndang, nding) dengan gaya nada selendro. Salah satu gangsa angklung biasanya bisa langsung berfungsi sebagai pengugal atau pemimpin dalam barungan angklung itu. Instrument gangsa ini biasanya menggunakan alat pukul panggul atau juga panggul gender. Cara memainkannya adalah satu nada di pukul kemudian d tutup sesuai dengan irama yang kita inginkan.
Kantialan angklung adalah instrument yang mempunyai 4(empat) bilah nada yang terdiri dari nada (ndeng, ndung,ndang, nding)tetapi dengan nada lebih tinggi dengan gaya selendro. Kantilan ini berfungsi sebagai pemanis dalam permainan atau gending angklung tersebut. Instrument ini juga menggunakan alat pukul panggul atau juga menggunakan panggul gender
Jublag angklung adalah instrument yang juga mempunyai 4(empat) bilah nada yang terdiri dari nada(ndeng,ndung,ndang,nding) tetapi nadanya lebih rendah dengan gaya selendro. Jublag ini berfungsi sebagai penandan dalam gending angklung itu sendiri. Insterument ini menggunakan alat pukul panggul tetapi ukurannya lebih besar dan d bawah panggul itu menggunakan karet agar suara jublag terdengar lebih merdu
Reong angklung adalah instrument yang berpencon dengan gaya nada selendro dan dimainkan oleh 4(empat) orang pemain atau penabuh. Instrument ini menggunakan alat pukul panggul tetapi panggul itu di lilit dengan benang dengan tujuan agar suara reong tersebut bisa lebih merdu
Kendang angklung, biasanya kalau untuk mengiringi upacara kematian kendang angklung yang digunakan adalah kendang yang berukuran kecil karena lagu yang dimainkan adalah lagu ysng bersifat sedih tetapi dalam angklung kebyar biasanya menggunakan kendang yang ukurannya lebih besar karena bentuk lagunya lebih bersemangat dan juga berbentuk kekebyaran. Instrument ini dimainkan oleh 2(dua) orang penabuh. Kalau menggunakan kendang berukuran kecil cara memainkannya hanya memukul bagian samping kanan yang diameternya lebih besar atau mukaknya saja, tetapi kalau menggunakan kendang besar cara memainkannya menggunakan 2(dua) tangan dengan memukul bagian samping kendang dengan motif pukulan seperti gegilak, dll
Tawa-tawa angklung merupakan alat sebagai tempo yang membawa lagu itu cepat atau pelan.
Kempur angklung merupakan suatu alat untuk menunjukkan lagu itu sudah habis, tetapi kalau angklung kebyar biasanya menggunakan gong, karena jenis lagunya berbentuk kekebyaran. Ada juga instrument kecek dan suling yang menjadi bagian dari barungan gambelan angklung tersebut.

Gamelan Gambang Dalam Upacara Pitra Yadnya


Gamelan GambangSecara epistemologis, pengertian Pitra Yadnya muncul dari arti kata Pitra dan Yadnya. Dari beberapa sumber literatur, diketemukan berbagai pemaknaan terhadap kata “pitra”. Singgih Wikarma (2002) dalam bukunya Ngaben, menguraikan bahwa Pitra berasal dari kata Pitr yang artinya leluhur, yadnya berasal dari kata Yaj berarti berkorban. Dari arti kata di atas, Pitra Yadnya berarti bentuk pengorbanan suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas kepada para leluhur. Di lain pihak Sudarsana (2002:9) menyebutkan bahwa “pitra” adalah sama pengertiannya dengan arwah dan “pitra” berasal dari kata “pitri” yang artinya unsur-unsur kekuatan Panca Maha Bhuta yang membentuk stula sarira (jasad).
Terdapatnya perbedaan pengertian di atas, hal ini karena menurut sumber acuan yang dipergunakan oleh masing-masing penulisnya. Namun demikian esensi dari upacara ini masih tetap sama dimana pada intinya pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan salah satu bentuk pengorbanan suci (yadnya) yang diperuntukkan bagi roh, arwah para leluhur atau orang-orang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, upacara ini merupakan upaya untuk mempercepat proses pengembalian/penyucian unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar kembali ke sumbernya.
Adapun bentuk upacara pitra yadnya memiliki runtutan dari upacara orang meninggal hingga distanakan atau tempatkan pada tempat suci keluarga (sanggah). Pada saat baru meninggal, kekuatan Panca Maha Bhuta (pitra/roh) orang yang meninggal disebut dengan “petra/pitri/pitra”, setelah dilaksanakan penyucian tahap pertama melalui upacara atiwa-tiwa (ngringkes), maka sebutan pitra meningkat menjadi “pitara” (pitarah). Selanjutnya setelah dilakukan penyucian melalui upacara ngaben, disertakan dengan pengaskaran maka kesuciannya akan meningkat sehingga mendapat sebutan Dewa Pitara. Penyucian Dewa Pitara melalui upacara pemukuran akan meningkatkan lagi Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara. Setelah berstatus Hyang Pitara, upacara penyuciannyapun terus dilaksanakan melalui upacara Nilapati yaitu ngunggahang Bethara Hyang di Kemulan, maka Hyang Pitara telah kembali ke sumbernya yaitu ke “Sang Hyang Prakerthi” dan pada saat inilah mendapat sebutan Bethara Hyang (Sudarsana, 2002:12).
Dapat disimpulkan bahwa, upacara Pitra Yadnya merupakan upacara penyucian yang diperuntukkan bagi roh orang yang telah meninggal yang dilaksanakan melalui rangkaian upacara pengringkesan, pengabenan, memukur hingga nilapati atau ngelinggihang. Berkenaan dengan rangkaian upacara tersebut, salah satu aspek yang senantiasa mengiringi pelaksanaannya adalah adanya gamelan yang berfungsi sebagai musik pengiringnya.
Dalam pelaksanaannya di masyarakat Kota Denpasar, apabila dirinci dari awal pelaksanaan upacara pitra yadnya hingga rangkaiannya yang terakhir yaitu Nilapati digunakan berbagai jenis gamelan sebagai musik pengiringnya. Kebiasaan masyarakat di Kota Denpasar, terkait dengan rangakaian upacara tersebut dipergunakan gamelan Balaganjur, Gender Wayang, Angklung, Gong Kebyar, Gambang, Gong Luang (Saron).
Terkait dengan penggunaan gamelan Gambang dalam upacara pitra yadnya, pada salah satu lontar yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara Sawa Prateka disebutkan: Terjemahan secara bebas adalah sebagai berikut: Kalau mengadakan sawa prateka, pelaksanaannya berbadan mayat, memakai bade (wadah), menurut aturan keturunan (triwangsa), disertai banten taben, damar kurung, memakai petulangan (tempat pembakaran) lengkap sesuai dengan keperluannnya. Sorganya terletak di selatan, namanya budalaya, kawahnya geni murub (api berkobar), penghalangnya bernama dorokala dan kingkara. Bidadarinya Gagar mayang, Pendetanya Ramaperasu, Dewanya Bhatara Brahma, keseniannya adalah Gambang. Air Sucinya adalah kamandalu akhirnya dibakar di kuburan, abunya dihanyutkan di laut atau boleh juga ke sungai.
Dari uraian yang terdapat dalam lontar tersebut, jelas bahwa gamelan Gambang merupakan salah satu perangkat alat musik tradisional yang sangat diperlukan pada pelaksanaan upacara pitra yadnya di samping beberapa jenis gamelan lainnya. Hal ini juga terungkap dalam prasasti dan Purana Tatwa Pura Kelaci disebutkan bahwa gending Kebo Lelatik, Misa Gagang merupakan gending gambang yang dapat menghantarkan Sang Hyang Atma (roh) menuju sorga. Sebagaimana terdapat dalam purana tersebut (halaman 39), dalam rangka pelaksanaan upacara pelebonan (ngaben/pembakaran mayat) Sang Prabu ring Gelgel diuraikan sebagai berikut terjemahan bebas:
“… kalau tabuh gender menyesuaikan dengan jalur keliling bade (usungan mayat), wayang beber sudah diletakkan berjajar di tempat usungan mayat, suara kendang bergemuruh, angklung, kidung upacara sudah berbaris sesuai dengan urutannya. Di luar tempat persemayaman mayat Gong Gede dimainkan, Gong Saron di halaman puri. Gambang juga sudah dimainkan oleh I Gusti Ngurah Sentong, lagu Misa Gagang. Kebo Lelatik, Gagak Ora dan yang lainnya menyajikan jalinan nada yang sangat menyenangkan karena gending tersebut memang penghantar Sanghyang Atma (roh)…”
Dari uraian tersebut jelas bahwa gamelan Gambang merupakan salah satu gamelan yang memiliki nilai sakral dalam upacara pitra yadnya. Keberadaannya memiliki makna religius yang sangat penting yang dipercaya dapat menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sorga. Namun demikian, walaupun disebutkan bahwa gamelan Gambang merupakan gamelan penghantar roh, dalam pelaksanaanya tidak semua upacara pitra yadnya yang dapat mempergunakan gamelan gambang. Hal ini sangat tergantung dari tinggi-rendahnya tingkatan upacara yang dilaksanakan, sesuai dengan situasi, kondisi, derajat serta kemampuan financial penyelenggara upacara.
Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari berbagai sumber sastra yang berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana (2008:77-78) disebutkan ada empat tingkatan yaitu mewangun, prenawa, swasta dan ngerti parwa. Sesuai dengan situasi dan kondisi pelaksanaannya, masing-masing dari tingkatan tersebut dibagi lagi sehingga terdapat 10 bentuk pengabenan.
Upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan dalam tingkatan nista, madya dan utama sesuai dengan kemampuan dalam memenuhi berbagai persyaratannya. Pengabenan mewangun merupakan tingkatan pengabenan tertinggi dimana pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan kuantitas upacara utama dan memakai atribut-atribut secara lengkap menurut ketentuan sastra agama Hindu (Sudarsana, 2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya dilaksanakan bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, terhormat, pengaruh yang luas di masyarakat, seperti raja dan golongan ksatria lainnya, pendeta, pemangku desa. Pengabenan pranawa merupakan tingkatan upacara pengabenan yang kuantitasnya lebih kecil dari mewangun namun memiliki kualitas yang sama dan tergantung dari pelaksanannya. Berbagai kalangan (kedudukan dan kasta) dapat melaksanakan upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai dengan kemampuan dalam melaksanakannya. Sedangkan tingkatan upacara yang paling sederhana adalah swastha dan ngerti parwa.
Keterkaitan antara pemanfaatan gamelan Gambang dalam upacara ngaben, secara rinci telah disebutkan bahwa penggunaan gamelan ini dilakukan pada tingkatan tertinggi yang disebut dengan ngaben mewangun. Disajikannya Gambang dalam tingkatan pengabenan ini lebih disebabkan adanya keyakinan bahwa gending-gending yang disajikan seperti gending Kebo Lelatik, Misa Gagang, Gagak Ora dan yang lainnya dapat menghantarkan roh orang yang meninggal menuju sorga. Sebagaimana diilustrasikan dalam pengabenan Ida Betara Dalem Gelgel selaku penguasa Bali pada masa yang lampau disebut beberapa perlengkapan upacara seperti bade tumpang 11 dengan berbagai kelengkapannya termasuk wayang beber, nagabanda, lembu, serta berbagai jenis kesenian seperti gong saron, gambang, gong metrompong (gong gede), angklung, baris poleng (ketekok jago) dan berbagai perlengkapan upacara lainnya. Keseluruhan perlengkapan tersebut diyakini untuk mempermudah pencapaian roh ke alam sorga.

Sniffing dan Pengamanan Sistem Informasi

Hack Password Menggunakan Wireshark

Tutorial Metasploit

Tutorial Foot Printing

Minggu, 01 April 2012

Kanda Pat Bhuta


Meditasi Kanda Pat Butha

Kanda Pat Bhuta terdiri dari 27 bentuk meditasi , dari 27 bentuk meditasi tersebut kebanyakan bersifat negatif atau merusak, sementara 3 ( tiga ) yang baik yaitu (Meditasi Kanda Pat Somyaning Butha , Meditasi Kanda Pat Penundung Butha dan Meditasi Kanda Pat Pemrelina Butha) , ketiga Meditasi Kanda Pat Bhuta yang baik ini harus di kuasai agar tidak bisa ganggu oleh mereka yang menguasai Kanda Pat Bhuta yang bersifat negatif. Menurut tutur yang terdapat dalam pustaka suci bahwasanya di dalam raga manusia terdapat unsur kekuatan Dewa dan unsur kekuatan Butha dan apa yang terdapat di Buana Agung ( alam Semesta ), juga terdapat dalam Buana Alit ( diri kita ), sebaliknya juga begitu, salah satu diantara tersebut adalah tentang Butha, bahwasanya didalam diri manusia terdapat Butha begitu juga di Buana Agung atau Alam Semesta yang bahkan jumlah butha di Buana Agung jemlahnya ribuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di dalam diri manusia atau dalam buana alit. sedikit pengetahuan Bhuta yang ada dalam diri manusia ( Buana Alit ) dan Butha yang ada di alam semesta ( Bhuana Agung ), di jelaskan dalam Pustaka Kanda Pat Bhuta sebagai berikut : pada saat manusia berada didalam kandungan ( duk manusa kantun ring telengin cecupu manik ), kita memiliki empat saudara sejati ” Catur Sanak “, yang bernama I Anta – I Preta – I Kala – I Dengen . selanjutnya ketika manusa lahir : I Dengen menjadi Yeh Nyom selanjutnya menjadi I Bhuta Petak , selanjutnya menjadi I Bhuta Janggitan selanjutnya menjadi I Bhuta Anggapati, Sedangkan I Kala menjadi Getih selanjutnya menjadi I Bhuta Abang selanjutnya menjadi I Bhuta Karuna selanjutnya menjadi I Bhuta Merajapati , sedangkan I Preta menjadi Lamas selanjutnya menjadi I Bhuta Ireng selanjutnya menjadi I Bhuta Taruna selanjutnya menjadi I Bhuta Banaspati, sedangkan I Anta menjadi Ari Ari selanjutnya menjadi Bhuta Kuning, selanjutnya menjadi Bhuta Lembukania, selanjutnya menjadi Bhuta Banaspati…… , disamping bhuta yang ada didalam diri manusia ( Bhuana Alit ), juga terdapa Bhuta Kala yang ada di alam semesta ( Bhuana Agung ), malahan jumlahnya jauh lebih banyak dari pada yang ada di Bhuana Alit , Bhuta yang ada di alam semesta jumlahnya ribuan dan di pimpin oleh 108 Butha dan 108 Kala , 108 Bhuta ( diantaranya adalah Bhuta Bucari, Bhuta Ulu Singa, Butha Ulu Gajah, Bhuta Ulu Wresabha , Butha Ulu Sliwah , Bhuta Kalika , Bhuta Basang Basang , dan yang lainnya , sementara 108 Kala ( diantaranya adalah Sang Kala Bucari, Sang Kala Dangastra , Sang Kala Mreka , Sang Kala Sada , .Sang Kala Guna Guna , dan yang lainnya ) , berikut penulis memberikan sekelumit cuplikan Mantram yang terdapat dalam Meditasi tersebut di atas :

‘Mantram Meditasi Somyaning Bhuta’ :

Ong………………..Namo Siwa Ya…………Ong Niat ingsun ngrangsukang Yoga Samadhi Somyaning Bhuta kang Marisomya watek para bhuta kala kabeh, Ong sanak ngulun I Dengen mawak yeh Nyom matemahan Bhuta Petak, matemahan Bhuta Janggitan, matemahan Bhuta Aggapati magenah ring kulit………………………..dst, lah ta sira pada metusaking adnyana mapupul to sira ring uluhati anerus ring kuncit,,,,anerus ring selaning ………………………….dst.

Melalui meditasi Tuntunan Semadhi Kanda Pat yang dinamakan Meditasi Somyaning Butha ini kita di latih memupuk , menumbuhkan , meningkatkan unsur kekuatan Butha yang ada dalam diri manusia kemudian di arahkan untuk sesuatu yang berguna bagi kehidupan yaitu untuk : Menyomyakan Butha ( berdamai dengan Butha ), Menyucikan berbagai pekarangan, abian , tegalan , carik/sawah , Penyucikan perumahan (pomahan)

Sejak jaman dulu para Yogi atau Pertapa menyomyakan Bhuta dengan menggunakan sarana tertentu , ada yang menggunakan sarana “pemusatan pikiran atau samadhi”, bagi kelompok pertapa yang kebanyakan pengikutnya memiliki tingkat pengetahuan atau jnana yang tinggi, sedangkan bagi kelompok pertapa yang kebanyakan pengikutnya memiliki tingkat atau jnana yang masih rendah menggunakan sarana lelaban berupa segehan, caru , dan sebagainya, mulai dari segehan warna putih – kuning kekuatan berdamainya 3 hari, segehan manca warna kekuatan berdamainya 5 hari, dan segehan agung kekuatan berdamainya 15 hari. Caru brumbun kekuatan berdamainya dengan Butha Kala selama 6 bulan, Caru Manca Sato kekuatan berdamainya dengan Butha selama 1 tahun, Caru Manca Sanak kekuatan berdamainya dengan Butha Kala selama 5 tahun 5 bulan , Caru Resi Gana ( sehabis melakukan pecaruan semua ditanam, kekuatan berdama dengan Butha Kala selama 6 tahun, Caru Manca Kelud memiliki kekuatan berdamai dengan Butha Kala selama 8 tahun, Caru Balik Sumpah , memiliki kekuatan berdamai dengan para Butha Kala selama 9 tahun, Caru Tawur Gentuh meiliki kekuatan berdamai dengan para Butha Kala selama 10 tahun, sementara Caru Masepuh Agung kekuatan berdamainya 11 tahun, Caru Panca Wali Krama kekuatan berdamainya 12 tahun 6 bulan, Caru Eka Dasa Rudra kekuatan berdamai dengan Butha Kala 100 tahun, sementara Caru Malinggya Bhumi kekuatan berdamainya 400 tahun, sementara yang dikenal dengan Caru Arebhu Bhumi kekuatan berdamainya dengan para Bhuta Kala selama 1000 tahun. Paiketan Paguron Seruling Dewata termasuk kelompok yang berdamai dengan Bhuta dengan menggunakan sarana Pemusatan Pikiran (Samadhi) karena para pengikutnya kebanyakan tingkat pengetahuan (jnana) tinggi. Sementara kelompok Resi Markandya menggunakan sarana berbagai korban sato karena para pengikutnya kebanyakan para petani dan pekerja yang kurang mampu bersemadhi memusatkan pikiran dan kebiasaan ini telah di warisi oleh masyarakat Bali Dwipa sampai sekarang.

‘Mantram Meditasi Panundung Bhuta’ :

Ong……………….Namo Siwa Ya……………., ong Niat ingsun ngrangsukang yoga Samadhi Penundung Bhuta kang umalah para Bhuta Kala pegawe ala kabeh………………dst, Ong tumurun Betara Rudra lan Betara Kala saking ambara ngelayang masusupan ring angga sariranku, mayoga betara Rudra lan Betara Kala ring sariran ngulun mijil aken geni murub ring siwardwara, ring soca…………………………..dst…………………..

Meditasi Kanda Pat Panundung Bhuta ini mengajarkan pada kita cara untuk mengarahkan kekuatan Bhuta dalam diri kita untuk mengusir para Bhuta yang tidak mau berdamai dan sering mengganggu kita sekeluarga agar pergi dari pekarangan rumah yang kita tempati. Pada saat proses pengusiran para Bhuta akan merasa kesakitan seperti di timpuk batu, atau dilempar dibanting dipukul dengan tongkat dan semuanya menjerit kesakitan pada saat pembacaan mantram ini.

‘Mantram Meditasi Pemrelina Bhuta’ :

Ong……………….Namo Siwa Ya……………., ong Niat ingsun ngrangsukang yoga Samadhi Pemrelina Bhuta kang mralina para Bhuta Kala pegawe ala kabeh luwirnia agringin jadma manusa, ngawe lara, adenda atma, angamet jiwa, amateni amejah jadma manusa………………………ong Bethara Rudra mesusupan ring angga sariran ngulun rumasuk saking siwadrawa anerus ring usus, anerus ring tangan tengen,……………………….ong Bethara Kala masusupan ring sariran ngulun , rumasuk saking siwadwara anerus ring uluhati anerus ring tangan kiwa…………………………………dst……….

Meditasi ini mengajarkan kepada para siswa cara mengarahkan kekuatan Bhuta yang ada pada diri kita untuk membunuh dan menghancurkan para Bhuta yang suka mengganggu manusia yang setelah di usir datang balik atau kembali mengganggu kita sekeluarga agar semuanya mati, musnah terbakar tanpa bekas, jadi abu.

Kanda Pat Dewa


Ajaran ini berkembang khususnya di Bali. Dalam perkembangan Hindu di Bali, aliran Siwa Sidhanta adalah terbesar pengikutnya di awal perkembangan Hindu di Bali. Siwa Sidhanta mengajarkan bahwa Hyang Siwa adalah tujuan tertinggi, beliaulah dianggap sebagai Hyang Widhi dalam tiga perwujudan yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Dalam Tri Murti, beliau adalah Brahma, Wisnu dan Iswara.  Dalam Dewa Nawa Sangga, Siwa ditempatkan di tengah-tengah dalam wujudnya sebagai Batara Hyang Guru, beliau kemudian bermanifestasi ke segala arah mata angin dan menguasai arah mata angin sebagai pengider dalam Bhuwana Agung / alam semesta. Ajaran Kanda Pat Dewa mengajarkan bahwa segala yang ada di bhuwana agung terdapat pula di bhuwana alit, sehingga Dewa -Dewa yang ada di bhuwana agung sesungguhnya ada pula didalam tubuh manusia. Dari sana kemudian Dewa Nawa Sangga dipuja dan diistanakan dalam tubuh, sehingga tubuh manusia akan seperti Dewa. Sesungguhnya bhuwana agung dan bhuwana alit adalah satu, sehingga apapun yang ada di bhuwana agung terdapat juga di bhuwana alit. Oleh karena Hyang Widhi sesungguhnya ada dan beristana di hati manusia. Apabila kita mampu memahami keberadaan Hyang Widhi dalam diri kita maka kita pun mempunyai kesadaran yang sama dengan Hyang Widhi.

Adapun mantra yang diucapkan saat mempelajari Kanda pat Dewa adalah:

  • Om bhatara Iswara, ring purwa prenahira, rupanira putih, kahyangan nira ring papusuh, senjatan nira bajra, merunira tumpang lima, babahanira ring kuping tengen, wetunira ring idep.
  • Om batara Brahma, ring daksina prenahira, rupanira bang, kahyanganira ring ati, senjatanira danda, merunira tumpang siya, babahanira ring mata tengen, wetunira ring panon, lintiran tan salah panon.
  • Om batara Mahadewa, ring pascima prenahira, rupanira kunig, kahyanganira ring ungsilan, senjatanira nagapasa, merunira tumpang pitu, babahanira ring irung tengen, wetunira ring sabda.
  • Om batara Wisnu, ring uttara prenahira, rupanira ireng, kahyanganira ring ampru, senjatanira cakra, merunira tumpang papat, babahanira ring cangkem, weetunira ring pangwangan.
  • Om batara Siwa, ring madya prenahira, rupanira mancawarna, kahyangannira ring tumpuking ati, senjatanira padma, merunira tumpang solas, babahanira ring papusuh, wetunira ring manah, lintiranira tan salah manah.
  • Om Batara Guru, haneng madyaning awyakti prenahira, wetunira ring adnyana, lintiran angadegaken adnyana. Hyang Wisesa wetuning angen-angen ring byantara, babahanira ring uneng-unengan, lintiran angen-angen. Om Sang Bang Tang Ang Ing Nang Mang Sing Wang Yang, amepeki jagat bhuwana kabeh, anilahaken paksane, sakwehing kinaya-upaya, tuju teluh teranjana, desti, pepasangan, sesawangan, rerajahan, tan tumana ring awak sariranku, apan aku sarining Tunjung putih.
Apabila kita mampu angrasukin mantra-mantra diatas, maka kita akan mampu bersikap bijaksana dan mampu memahami sesungguhnya Hyang Guru yang ada di hati kita. Belajar Kanda Pat Dewa, memerlukan kesabaran, ketekunan dan kepasrahan bahwa segala sesuatu yang kita dapat sesungguhnya adalah semua tergantung dari kemurahan dan anugrah Hyang Widhi. Semoga dengan mampu memahami ajaran ini, umat Hindu Khususnya yang ada di Bali semakin dekat dengan kewajiban sebagai manusia, untuk menemukan sejatinya apa yang menjadi tujuan manusia yaitu moksartam jagadhita ya ca iti dharma. Mencapai moksa di jalan kebenaran. 

KANDA PAT SARI



Inilah ajarannya KANDA PAT SARI . Kanda = tutur = petuah = cerita = tetingkah = kesaktian = kesidian = kewisesan. Pat = empat Sari = utama jadi, Kanda Pat Sari berarti empat macam ajaran yang utama tentang ilmu kesaktian, kesidian dan kewisesan.
Beginilah ceritanya : pada waktu kita lahir ke dunia ini, pada saat yg sama lahir pula Sanghyang Panca Mahabutha, yang lahir bersama-sama dengan Sanghyang Tiga Sakti. Beliaulah Sanghyang Tiga Sakti amor ring Buwana Agung, kemudian dipuja oleh semua mahkluk hidup di dunia. Beliau di puja di Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem.
Sedangkan Sanghyang Panca Mahabutha menjadi pepatih di segala penjuru dunia. Sebagai pemelihara dunia. Dan semuanya mahasakti tidak terhingga. Bila di puja, diyakini, dan diresapi, maka Beliau dapat ngrangsuk ke dalam badan. Dapat memberikan jalan menuju kebijaksanaan, kewibawaan, kesaktian, kesidian, kawisesan, dan kemulyaan.
Inilah adanya beliau :
1. Yang paling tua berwujud yeh nyom, yang disebut ANGGAPATI, yg menjadi patih di pura ulun suwi, yg bernama I RATUNGURAH TANGKEB LANGIT, yang diikuti oleh Sang Bhuta Swadnya, Sang Bhuta Swasti, Sang Bhuta Tenggara, Beliau sbg dewanya sawah, gunung, sbg pemelihara dunia dan dipekarangan Beliau berstana di tugu (yg bertempat di barat laut) sbg dewanya segala hewan, bila di dlm badan beliau berstana di Kulit yg disebut Segare Tan Patepi dgn aksaranya “SANG” , berwujud Amerta Sanjiwani, rembesannya keluar dalam bentuk keringat. Faedahnya adalah untuk membasmi segala penderitaan, pada badan termasuk penyakit yang berat maupun penyakit yang ringan. Demikian pula apabila mendapat penderitaan karena melakukan sumpah Cor, dapatlah diampuni.. penjelmaan Beliau adalah berbentuk langit yg cemerlang, menjadi damuh(air gerimis yg jatuh dr langit pada dini hari) demikianlah saktinya I Ratu Ngurah Tangkeb Langit.
Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :

Ketipat dampulan matenggek, taluh bokasem, segehan kepelan putih me be bawang jahe.
2. Yang paling wayanan ( yg lahir ke 2 ) berwujud Darah, yang bernama MRAJAPATI, kemudian menjadi patih di pura Sada. Kemudian beliau bergelar I Ratu Wayan Tebeng, diikuti oleh Sang Bhuta Usadi, Sang Bhuta Keli. Beliau sbg Dewatanya hutan, gunung, jalan, pintu keluarnya rumah ( lebuh ), pohon kayu, segala tumbuh-tumbuhan. Dalam badan Beliau berstana di dalam Darah. Sebagai Amerta Kamandalu, rembesannya adalah Bayu. Aksarantya

“BANG”

Yang bernama Tampaking Kuntul Nglayang. Fungsinya adalah untuk menolak segala perbuatan jahat baik skala maupun niskala. Semua dapat di tolaknya. Penjelmaannya menjadi api unggun, gunung, hutan, jalan, pohon besar.
Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :

Ketipat galeng dgn telur itik, segehan barak me be bawang jahe.
3.Yang lahir madenan ( lahir no 3 ) berwujud Ari-ari yang bernama BANASPATI, menjadi pepatih di Pura Puseh. Beliau bergelar I Ratu Made Jelawung. Diikuti oleh Sang Bhuta Prajapati, Bhuta Bisrana. Beliau adalah dewatanya tanah tegalan, dewatanya perkebunan, dewatanya penginih-inih, dan segala yg berbuat jahat musnahlah adanya. Termasuk orang yang berbuat jahat di dalam pekarangan rumah, musnah adanya. Di dalam badan Beliau berstana di dalam Daging, dan di semua lubang yg ada di badan. Aksaranya adalah “TANG”

Kemudian disebut Galihing Kangkung. Rembesannya berbentuk rambut. Penjelmaan Beliau berwujud angin kencang, mahluk kecil ( gumatat-gumitit ), menjadi tegalan yg sangat luas, berwujud perkebunan yg pagarnya sangat sempurna, berwujud rumah besar yg bertembok tinggi.
Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :

Ketipat gangsa, me be sate gede, segehan kepelan kuning me be bawang jahe.
4.Yang lahir Nyomanan (lahir no 4) berwujud Lamad ( Lamas )

Bernama BANASPATI RAJA, menjadi patih di Pura Dalem. Kemudian bergelar I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Di ikuti oleh Sang Bhuta Grabwag, Bhuta Sundung, Bhuta Slusuh, Bhuta Sendra. Beliau sakti tiada tandingannya. Beliau sbg pemelihara dunia. Sbg dewatanya kuburan, dewatanya sungai, jurang , pamgkung, , dewatanya Dete, Tonya, Samar, dewatanya pantai, dewatanya semua jenis burung, dewatanya semua balyan pengiwa dan penengen. Beliau menciptakan kekuatan mantra. Di dalam badan Beliau berstana di Urat. Beliau perwujudan Amerta Maha Tirta. Rembesannya menjadi Maolah. Aksaranya adalah “ANG”

Artinya Isin Buluh Bumbang. Penjelmaannya berwujud lautan, sungai, burung, berwujud manusia spt kita , orang tua yg berkampuh poleng.
Sesaji/banten aturan kepada Beliau :

Ketipat gong me be taluh meguling, sesari 11biji uang kepeng, rokok, segehan kepelan selem me be bawang jahe.
5.Yang lahir ketutan ( no 5 paling akhir )

Bernama BHUTA DENGEN. Menjadi pepatih di Pura Desa. Bergelar I Ratu Ketut Petung. Diikuti oleh Sang Bhuta Ngemban Nginte, Sang Ayu Draning, Beliau sbg Dewatanya Balang Tamak Bale Agung, dewanya Pelangkiran, dewanya Pasar, dewanya Tukang, sangging, undagi, pande, dewanya bale banjar, dan dewanya segala jenis Ikan.di badan Beliau berstana pada Tulang dan Sumsum, perwujudan Amerta Pawitra, rembesannya berwujud Rasa, aksaranya “ ING”

Yang di sebut Lontar Tanpa Tulis. Beliau sbg pemelihara kandungan, pemelihara diri sendiri. Beliau di benarkan membunuh musuh yg jahanam, pada diri kita. Penjelmaan Beliau berwujud Kilat, Bale agung, ikan, manusia laki-laki dan perempuan.
Sesaji/ banten aturan kepada Beliau :

Ketipat leket akelan, me be taluh bajongan, segehan brumbun me be bawang jahe.
Ini supaya di ingat, saktinya Beliau SANGHYANG PANCA MAHABHUTA, bila di kehendaki dan ingin memiliki kesaktian tersebut, wujudkanlah kekuatannya, masukkanlah di dalam badan, supaya menyatu dengan kita, merokok tidak dibenarkan dalam mempelajari Ilmu
MANTRA PEMUJAAN DAN PERMOHONAN

TATA CARA DAN UPACARA
Mantra pemujaan Beliau :
Ong Ang Ang Ong

Ong Ing Ong Ung Ang Ah Ah Tang

Ong Kyah Kyah Ong Shah

Ung Rung Reng Rong Wasat

Ong Ong Mang Wyang Syah
Mantra permohonan kepada Beliau :
Ih I Ratu Ngurah Tangkeb Langit

I Ratu Wayan Tebeng

I RatuMade Jelawung

I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan

I Ratu Ketut Petung

Aja sira lali asanak ring ulun

Apan ulun tan lali astiti bhakti ring sira

Wehan ta ulun panugrahan……… (sakti sidhi ngucap)

………………………………………………………………

Ong winursita rsyamuka

Angamet sarining amerta kusuma ya nama swaha
Jangan di lecehkan, karena mantra ini adalah ciptaan Beliau Bhatara Dalem.dapat dipergunakan sekehendak hati. Tinggal menambahkan kalimat permohonan pd titik-titik tersebut di atas. Mau sakti dalam segala hal perwujudan. Tidak dapat di tundukkan dalam segala kewibawaan. Yang jauh dapat di buat dekat, yg dekat dapat di buat jauh, segala yang ganas menjadi jinak.
Kemudian apabila berkehendak memuja Beliau Sanghyang Panca Mahabhuta supaya segera menyatu dengan diri kita, pada hari Sabtu Kliwon wuku Landep atau Hari Tumpak Landep ( hari piodalan Ida Sanghyang Panca Mahabhuta )
Banten/ upakara/ aturan kpd Beliau :
Banten/sesaji banten ketupat seperti yg telah disebutkan di atas tadi di tambah dengan :

-Rayunan satu pajeg ( be/ikan diolah sampai matang) ikan ayam, babi, itik

Boleh dipakai.

-Suci satu soroh

-Daksina gede satu dengan sesari 41 uang kepeng ( pis bolong )

-Permen/pemanisan satu dulang

-Rantasan secukupnya ( kain warna putih,merah,kuning, dan hitam )

-Segehan agung satu

- Ayam samumulung satu untuk samleh

-Tetabuhan arak-berem.

Dan juga banten pras pejati yg dihaturkan kehadapan Sanghyang Tiga Sakti dan leluhur kita, untuk mohon restu semoga Beliau semua berkenan dan Asung kerta wara nugraha.

Setelah sesajen diatas lengkap, kemudian diikuti dengan mantra2 danditambah dengan ucapan dgn bahasa sendiri sesuai permohonan. Permohonan itu hanya boleh diucapkan satukali saja yaitu kepada IDA IRATU NYOMAN SAKTI PENGADANGAN saja….karena Beliaulah nantinya yg akan memanggil saudara2nya untuk ikut merestui permohonan kita.
Inilah cara-caranya :
Pertama-tama banten pras pejati dihaturkan dihadapan pelinggih rong tiga katur ring Ida Sanghyang Tiga Sakti atau ring padma, jg banten pras pejati di haturkan ke leluhur minta doa restu. Selanjutnya sembahyang. Kemudian ucapkan mantra spt di bawah ini………….
Ih, I Ratu Ngurah Tangkeb Langit, metu kita saking jagat wetan, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken:

Ketipat dampulan matenggek, maulam taluh bokasem, segehan kepelan putih maulam bawang jahe.
Ih, Iratu Wayan Tebeng, metu kita saking jagat kidul, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken: Ketipat galeng maulam taluh bebek, segehan kepelan barak maulam bawang jahe.
Ih, I Ratu Made Jelawung, metu kita saking jagat kulon, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken: Ketipat gangsa, maulam sate gede, segehan kepelan kuning maulam bawang jahe.
Ih, I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, metu kita saking jagat lor, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken:

Ketipat gong maulam taluh meguling, sesari 11biji uang kepeng, rokok, segehan kepelan selem maulam bawang jahe.
Ih, I Ratu Ketut Petung, metu kita saking jagat madya, ajakan waduanira, roang sira kabeh, apupul ring pesamuan, manusanta angaturaken: Ketipat leket akelan, maulam taluh bajongan, segehan kepelan brumbun maulam bawang jahe.
Tiosan saking punika wenten malih aturan manusanta mekadi suci asoroh, daksina gede, rayuna lan pemanisan, rantasan, segehan agung muang penyambleh ayam samumulung, metetabuhan arak berem.
Ajasira lali asanak ring ulun, Apan ulun tan lali astiti bakti ring sira, Wehan ta ulun panugrahan………………………………………………….. ( titik2 disi dgn permohonan menurut bhs nasing2 ) , Ong Winursita resyamuka angamet sarining amerta kusuma ya nama swaha.
Mantra diatas di ucapkan ber ulang- ulang secara pelan dan lirih , penuh dgn konsentrasi, sambil menghayati dan meresapi setiap katanya. Bila diterima kita akan merasakan suatu sensasi spiritual. Setiap org akan merasakan sensasi atau getaran yg berbeda.

Dan inilah ciri-ciri kalau Beliau telah menyatu pada kita :
Bila terasa badan kita besar dan keluar keringat seketika, tandanya beliau I Ratu Ngurah Tangkeb Langit telah menyatu pada diri kita. Segala penyakit dan penderitaan musnahlah adanya.
Bila terasa panas pada telinga, dan terbelalak rasanya mata, tidak mampu berkedip, tandanya beliau I Ratu Wayan Tebeng menyatu pada diri kita, segala mara bahaya dan penyakit di tolaknya.
Bila terkejut dan merasa takut, bulu kuduk berdiri seperti angin dingin, tandanya beliau I Ratu Made Jelawung menyatu pada diri kita, segala penyakit yang berasal dari upas dan cetik musnah semuanya.
Bila berdenyut pada kemaluan, dan hidup secara tiba-tiba, berat rasanya badan, seolah-olah ingat dan rindu pada sesuatu yg bersifat gaib, tandanya beliau I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan menyatu dengan diri kita. Tidak takut dalam segala bentuk tantangan.
Bila tiba-tiba kita menjadi pintar, mampu berbicara banyak, pembicaraan yang halus dan manis, tandanya I Ratu Ketut Petung menyatu pada diri kita. Segala penderitaan sirna adanya.
Inilah cirri-ciri beliau pada alam semesta raya ini :
Bila kita merasakan atau mencium bau yang harum seperti bau bunga, kemudian megledug seperti jatuhnya buah kelapa , seperti suara bedeg diinjak-injak, itu semua adalah pengikut I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan. Beliau memanggil saudaranya semua, untuk mau menyatu pada diri kita.

Palinggih Hyang Kompiang, Kawitan, Paibon, Padarmaan

Palinggih Hyang Kompiang, Kawitan, Paibon, Padarmaan
Tattwa, Kedudukan, dan Perbedaannya

Pulau Bali pernah mengalami musibah besar di mana rakyatnya melarat karena bencana alam yang sambung menyambung, tanaman pangan selalu rusak karena diserang hama, dan wabah penyakit menjalar cepat mematikan manusia dan binatang peliharaan.

Menurut Rontal Purana Pasar Agung hal ini disebabkan karena penduduk Pulau Bali tidak “ngaturang aci” dan bersembahyang ke Pura Besakih. Ketika pemerintahan Raja Mayadanawa selama 15 tahun, yaitu sejak tahun 959 Masehi sampai dengan tahun 974 Masehi, rakyat Bali memang benar dilarang ngaturang aci dan bersembahyang ke Besakih.

Para tentara kerajaan membangun pos penjagaan pertama di pinggir sungai Balingkang (letaknya di timur pasar Menanga sedikit lewat jembatan sekarang dikenal dengan pelinggih Yeh Ketipat) dan kedua, di Pura Manikmas sekarang, untuk menjaga agar tidak ada penduduk yang datang ke Besakih.

Setiap yang datang ditangkap lalu digiring ke hadapan raja Mayadanawa. Disaksikan oleh para patihnya, yaitu Kryan Patih Kalawong dan Kryan Bedawong, Raja lalu bersabda:

Renge ling ngong, samangke ngong angrenge wrtha kunang padartanya ring Basukih hana Dewa, hana Dalem; ndi hana Dalem waneh lawan ingong, ingong Dalem, ingong Dewa yatika tan tuhu mangkana sinembah dening wong Bali… dst

… iti ta wang ingong Dalem jati, yan ri Dalem Kadewatan dudu Dalem, ing Basukih dudu Dewa, ingong Dewa jati, ingong haturi widhi wedana mwah sembahen ta ingong asung uripta, mwah samidinta… dst

Jadi, singkatnya, Mayadanawa telah menyatakan dirinya: “akulah Dewa yang patut kamu sembah, janganlah menyembah Dewa yang ada di Besakih”.

Ini membuat para Dewa di Kahyangan memutuskan untuk memusnahkan Mayadenawa. Bhatara Indra diutus untuk tugas suci ini, dan akhirnya Mayadanawa dikalahkan. Bhatara Indra lalu menitahkan agar rakyat Bali membangun kahyangan di Desa masing-masing, taat ngaturang aci, dan bersembahyang di Besakih.

Aci yang dititahkan itu adalah: Eka Bwana, Panca Walikrama, dan Eka Dasa Rudra. Di saat itu Ida Bethara Samodaya nyejer di Besakih, dan ketangkil oleh seluruh rakyat yang tinggal di Pulau Bali.

Bagi Para Rsi, Mpu, dan arwah leluhur perintis pertama yang datang di Bali dibuatkan palinggih di Besakih agar dapat ngiring Ida Bethara Samodaya.

Itulah antara lain yang merupakan awal dibangunnya Pura Pedarmaan di Besakih. Kemudian perkembangan ini lebih pesat setelah kedatangan Mpu Kuturan di Bali pada tahun 1001 Masehi. Beliau menata kembali parahyangan mulai dari Sanggah Kemulan Rong Tiga untuk pawongan (rumah tangga),

Sanggah Pamerajan untuk beberapa rumah tangga, di mana dipuja arwah suci para leluhur yang berasal dari garis satu waris. Lebih besar dari Sanggah Pamerajan adalah berturut-turut: Pura Panti dan Pura Paibon, untuk penyungsungan bagi beberapa Sanggah Pamerajan.

Pura Dadia untuk penyungsungan bagi beberapa Panti dan Paibon, dan Pura Kawitan, untuk penyungsungan bagi beberapa Dadia.

Perbedaan status Pura-Pura tersebut ditentukan oleh:

Jumlah penyungsung.
Jumlah dan jenis Palinggih yang ada.
Historis (sejarah berdirinya Pura-Pura itu).
Perlu diketahui bahwa pada umumnya tiap-tiap Sanggah Pamerajan, Panti, Paibon, Dadia, Kawitan, bahkan Pura Pedarmaan tidak sama baik jumlah/ susunan palinggih, maupun Ida Bethara yang di-stana-kan, karena masing-masing mengikuti sejarah leluhurnya dahulu.

Mengenai asal satu waris dan hubungan ke-cuntaka-an atau saling sumbah pada umumnya sudah sulit ditemukan dalam tingkatan Kawitan, karena demikian panjangnya silsilah leluhur yang melewati batas waktu dalam hitungan abad (ratusan tahun).

Selanjutnya mengenai Palinggih Hyang Kompiang dapat diuraikan sebagai berikut: Palinggih Hyang Kompiang merupakan fenomena baru dalam perkembangan Agama Hindu di Bali yang dimulai sekitar tahun 1970, yaitu beberapa tahun kemudian setelah diadakannya Karya Agung Eka Dasa Rudra (1963) di Pura Besakih.

Ketika itu sebelum Karya, diwajibkan untuk “membersihkan” setra, sehingga pemeluk Hindu ramai-ramai ngaben. Upacara pengabenan dilanjutkan dengan nuntun Dewa Hyang/ Hyang Kompiang ke Pura Dalem Puri di Besakih.

Setelah nuntun lalu Dewa Hyang distanakan di Sanggah Pamerajan pada suatu bentuk bangunan gedong limas; palinggih itu dinamakan Palinggih Hyang Kompiang atau Palinggih Dewa Hyang.

Tempatnya berbeda-beda, ada yang di jeroan Sanggah Pamerajan, ada pula yang di jabaan Sanggah Pamerajan. Sumber sastra mengenai Palinggih Dewa Hyang ini tidak ditemukan.

Dasarnya membangun Palinggih Dewa Hyang kemungkinan adanya persepsi yang berbeda mengenai fungsi Kamulan yang menyatakan bahwa Kamulan adalah stana Sanghyang Tri Murti, yaitu Brahma, Wisnu, Iswara atau Sanghyang Tiga Sakti.

Oleh karenanya Dewa Hyang kurang tepat distanakan bersama-sama dengan Sanghyang Tri Murti, sehingga perlu dibangun palinggih tersendiri.

Banyak sumber sastra tegas-tegas menyatakan bahwa Kamulan adalah stana Atman yang sudah bersih.

Kutipan Lontar Gong Wesi:

…NGARANIA IRA SANG ATMA, RING KAMULAN TENGEN BAPANTA NGA SANG PARATMA RING KAMULAN KIWA IBUNTA NGARAN SANG SIWATMA RING KAMULAN MADIA RAGANTA, ATMA DADI MEME BAPA RAGANE MANTUK RING DALEM DADI SANG HYANG TUNGGAL NUNGGALANG RAGA…

Kutipan Lontar Usana Dewa:

…RING KAMULAN NGARAN IDA SANGHYANG ATMA, RING KAMULAN TENGEN BAPA NGARAN SANG PARATMA, RING KAMULAN KIWA IBU NGARAN SANG SIWATMA, RING KAMULAN TENGAH NGARAN RAGANYA, TU BRAHMA DADI MEME BAPA MERAGA SANGHYANG TUDUH

Kutipan dari Lontar Siwagama:

…KRAMANIA SANG PITARA MULIHANG BATUR KAMULANYA NGUNI…

Selanjutnya adalah kutipan Lontar Purwabhumi Kamulan:

…RING WUS MANGKANA, IKANG DAKSINA PENGADEGAN SANG DEWA PITARA TINUNTUNAKENA MARING SANGGAH KAMULAN, YAN LANANG UNGGAHAKENA MARING TENGEN, YAN WADON UNGGAHAKENA MARING KIWA, IRIKA MAPISAN LAWAN DEWA HYANGNYA NGUNI, WINASTU JAYA-JAYA DE SANG PANDITA KINA BHAKTYANANA MUWAH DENING SWARGANYA MWANG SENTANAN NIRA…

Semua bukti sastra itu dikuatkan dengan konsep Sanggah Pamerajan menurut Mpu Kuturan, bahwa Sanggah Pamerajan adalah tempat suci untuk pemujaan arwah leluhur, di mana palinggih utamanya adalah Kamulan.

Pemujaan terhadap roh leluhur yang suci didasarkan pada pengertian bahwa karena tujuan akhir adalah bersatunya Atman dengan Brahman (Ida Sanghyang Widhi atau Sanghyang Tri Murti atau Sanghyang Tiga Sakti) maka roh suci leluhur itu disembah, didoakan, dan di-identikkan dengan Sanghyang Tiga Sakti (dalam konsepsi Moksha).

Di sinilah letak perbedaan persepsi yang dikemukakan di atas.

Pura Tanah Lot

Pura Tanah Lot

Pura Tanah Lot ini terletak di Pantai Selatan Pulau Bali yaitu di wilayah kecamatan Kediri, Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan, yang pembangunannya erat kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha di Pulau Bali. Di sini Danghyang Nirartha pernah menginap satu malam dalam perjalanannya menuju daerah Badung dan kemudian ditempat inilah oleh orang-orang yang pernah menghadap kepadaDanghyang Nirartha dibangun bangunan suci (Pura atau Kahyangan) sebagai tempat memuliakan dan memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa ) untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan.

Pura atau Kahyangan ini diberi nama "Pura Pekendungan" yang sekarang lebih dikenal dengan " Pura Tanah Lot" sebagai salah satu penyungsungan jagat,. Sekarang Pura atau Kahyangan ini sangat terkenal diseluruh Nusantara, malahan tidak mustahil diseluruh dunia, karena merupakan salah satu obyek wisata di pulau Bali yang sering memperoleh kunjungan. . Mereka yang berkunjung ke Pura atau Kahyanagn ini bukan saja wisatawan domestik, akan tetapi tidak jang juga wisatawan dari Luar Negeri.

Bagaimana ikwal perjalanan Danghyang Nirartha tatkala berkeliling di Pulau Bali dan sampai ditempat ini, dapat dijumpai didalam Dwijendra Tatwa yang menguraikan dan dapat disarikan sebagai berikut : Pada suatu waktu Danghyang Niratha datang kembali ke Pura Rambut Siwi di dalam perjalanan beliau kelilling pulau Bali, dimana dahulu tatkala beliau baru tiba di Bali dari Brambangan (Blambangan) pada sekitar tahun icaka 1411 atau tahun 1489 M beliau pernah singgah di tempat ini. Setelah berada di Pura Rambut Siwi untuk beberapa lama, kemudian beliau melanjutkan perjalanannya menunju arah Purwa (Timur) dan sebelum berangkat paginya Danghyang Niratha melakukan sembahyang "Surya Cewana" bersama orang-orang yang ada disana. Sesudah menyiratkan (memercikkan )tirtha terhadap orang orang yang ikut melakukan persembahyangan , lalu Danghyang Nirartha kelaur daridalam Pura Rambut Siwi berjalan menuju arah ke Timur. Perjalanan beliau ini menyusuri pantai Selatan pulau Bali dengan diiring oleh beberapa orang yang teraut cinta bhaktinya kepada Danghyang Nirartha.

Dalam perjalannya ini Danghyang Nirartha dapat menyaksikan bagaimana deburan ombak laut menerpa pantai menambah keindahan alam yang sangat mengasyikkan. Terbayang oleh beliau bagaimana kebesaran Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa ) yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya yang dapat membrikan kehidupan bagi manusia. Dalam hati beliau Dangyang Nirartha membisikkan bahwa menjadi bahwa menjadi kewajiban setiap makluk di dunia ini terutama manusia untuk menyampaikan parama sukmaning idep terhadap sanghyang Wudhi Wasa ( Tuhan Yang Maha Esa ) karena beliau telah berkenan menciptakan segalanya itu. Karena asyik memperhatikan dan memandang keindahan alam dengan segala isinya, sampai –sampai Dangyang Nirartha tidak merasakan kelelahan didalam perjalanan beliau ini.

Sebagaimana biasanya di dalam perjalanan Danghyang Nirartha senantiasa membawa lontar dan pengrupak (pisau raut untuk menulis pada daun lontar ) sehingga apa-apa yang diangap penting baik yang dilihat maupun yang dirasakan kemudian disusun dalam bentuk kekawin atau gubahan lainnya. Demikian pula mengenai perjalanannya dari Pura Rambut Siwi ini, sehingga karena asyiknya beliau memperhatikan serta memandang dan memikirkan segala sesuatu yang dipandang penting dan akan digubah, tahu-tahu Danghyang Niratha sudah sampai pada suatu tempat di pantai Selatan dipantai Selatan pulau Bali. Di pantai ini terdapat sebuah pulau kecil yang terdiri dari tanah parangan ( tanah keras) dan disinilah Danghyang Nirartha berhennti dan beristirahat.

Tidak antara lama Dangyang Nirartha beristirahat disana,maka berdatanganlah kesana para nelayan untuk menghadap kepada Danghyang Nirartha sambil membawa berbagai persembahan untuk diaturkan kepada beliau. Kemudian setelah sore hari, paranelayan tersebut memohon kepada Danghyang Nirartha agar beliau berkenan bermalam dipondok mereka masing- masing, namun permohonannya ini semua ditolak oleh Danghyang Nirartha, karena beliau lebih senang bermalam di pulau kecil itu. Disamping hawanya segar, juga pemandangannya sangat indah dan dari sana belaiu dapat melepaskan pandangan secara bebas kesemua arah.

Pada malam harinya sebelum Danghyang Nirartha beristirahat, beliau memberikan ajaran-ajaran seperti agama,susila da ajaran kebajikan lainnya kepada orang-orang yang datang menghadap ke sana.. Tatkala itu Danghyang Nirartha menasehatkan kepada orang-orang itu untuk membangun Parhyangan ( Pura atau Kahyangan ) disana karena menurut getaran bhatin beliau yang suci serta petunjuk gaib bahwa tempat itu baik untuk tempat memuja Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang maha Esa ) . dari tempat ini kemudian rakyat dapat memuja kebesaran sanghyang Widhi Wasa ( Tuhan YangMaha Esa ) untuk memohon wara nugrahaNya keselamatan dan kesejahteraan dunia.

Demikian antara lain nasehat Danghyang Nirartha kepada orang-orang yang mengahadap pada malam hari itu, yang akhirnya sesudah Danghyang Nirartha meninggalkan tenpat itu, kemudian oleh orang-orang tersebut dibangunlah sebiuah bangunan suci ( Pura atau Kahyangan ) yang diberi nama "Pura Pakendungan " yang kini lebih dikenal dengan sebutan "Pura Tanah Lot ".

Pelinggih Meru Tumpang 2 dan 3

Pelinggih Meru Tumpang 2 dan 3

1. Meru tumpang 3, menurut Lontar Tutur Kuturan adalah bentuk meru yang pertama kali dikenalkan oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan di Bali, sekitar abad ke-11.

Bangunan itu adalah simbol ‘Ongkara’ karena simbol Ongkara sebagai Sanghyang Widhi mempunyai kemahakuasaan:

Sebagai angka 3 (dalam aksara Bali), di mana 3 adalah: uttpti (kelahiran), stiti (kehidupan), dan pralina (kematian/ akhir)
Ditambahkan: ardha candra (simbol bulan = satyam), windhu (simbol matahari = rajas), dan nada (simbol bintang = tamas)
Digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi.
2. Meru kemudian berkembang menjadi tumpang: 1,3, 5, 7, 9, 11 disebutkan dalam Lontar Dwijendra Tattwa sejak abad ke-14 di Bali.

Meru-meru itu digunakan pula sebagai niyasa/ simbol ‘pelinggih’ Maha Rsi, Bhatara Kawitan, dan Roh-roh suci, dalam kaitan pemujaan leluhur, yakni srada ke-2 dan ke-3 dari Panca Srada (Atma Tattwa dan Punarbhawa)

3. Meru yang tumpangnya genap hanya tumpang 2.

Berdasarkan Lontar Sanghyang Aji Swamandala, meru ini ditujukan untuk stana Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’ sebagai Arda Nareswari (rwa bhineda), pencipta segala sesuatu yang berlawanan di dunia: laki-perempuan, malam-siang, dharma-adharma, dst.

Sanggah Pamerajan - Seri II

Sanggah Pamerajan - Seri II

1. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3:

Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’/ garis keturunan)
Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama)
2. Pelinggih di Sanggah Pamerajan (SP):

SP Alit: Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
SP Dadia: Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata
SP Panti: SP Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut di atas, disebut ‘pelinggih wewidian’, yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari.

Pada beberapa SP sering dijumpai pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di SP-nya.

Sanggah Pamerajan - Seri I

Sanggah Pamerajan - Seri I

1. Sanggah Pamerajan berasal dari kata: Sanggah, artinya Sanggar = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan, artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu.

Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek: Sanggah atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan.

2. Sanggah Pamerajan, ada tiga versi:

Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti). Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/ Padmasari.
Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha). Pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/ Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
Kombinasi keduanya. Biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/ Padmasari tetap di ‘hulu’, namun di sebelahnya ada pelinggih Kemulan.
Trimurti adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang – Ung – Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi horizontal, di mana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.

Tripurusha adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa – Sada Siwa – Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, di mana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.

Yang mana yang baik/ tepat ?

1. Menurut keyakinan anda masing-masing.

2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/ Jembrana.

3. Jadi menurut pendapat saya, memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada di mana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.

Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti).

Pembuat Gambang Itu Orang Tuli dan Buta

Pembuat Gambang Itu Orang Tuli dan Buta

      TERDAPAT cerita lucu sekaligus penuh simbol tentang asal-muasal gamelan gambang. Konon gambang dibuat oleh dua orang, satu orang buta dan satu orang tuli. Keduanya bahu-membahu menyelesaikan satu gamelan yang terbuat dari bilah bambu. Yang tuli tapi matanya awas bertugas memotong bilah-bilah bambu untuk dijadikan bilah gamelan. Sementara yang buta tetapi telinganya begitu celang bertugas mendengarkan nada-nada hasil potongan dari si tuli.

    Dengan cara seperti itu, maka bilah-bilah gamelan gambang tidaklah serapi bilah gamelan gong kebyar. Jika gong kebyar bilahnya berderet rapi dari yang paling panjang menuju ke paling pendek sehingga menghasilkan suara dari nada rendah ke nada paling tinggi. Namun gamelan gambang bilah-bilahnya tidak teratur. Nada paling rendah bisa saja tidak dihasilkan dari bilah yang paling besar dan panjang. Begitu juga bilah yang paling pendek dan kecil belum tentu menghasilkan nada paling tinggi.

    Wayan Sujana yang kerap melakukan penelitian ke desa-desa untuk menemukan seni-seni langka di Buleleng mengatakan bahwa cerita tentang penciptaan gamelan gambang itu memang memiliki nilai simbolis dan filsafat yang tinggi. Selama ini gambang memang dikenal sebagai gamelan untuk mengiringi upacara pitra yadnya. Karena suara gambang dipercaya sebagai penuntun atma menuju ke Siwaloka. Pembuat gamelan gambang yang disebutkan sebagai pasangan orang buta dan tuli merupakan simbol dari atma yang tidak mendengar dan tidak melihat. Tentang ketidakteraturan bilah-bilah gambang bisa disimbolkan sebagai kehidupan ini yang tidak pernah rapi, namun tetap bisa memberikan keindahan.

Namun, gamelan gambang yang dibuat oleh perajin-perajin gamelan masa kini bentuknya tentu saja lebih rapi dari gambang peninggalan-peninggalan zaman dulu. Ini juga sebagai simbol  bahwa manusia yang bisa mendengar atau melihat dengan baik memiliki upaya terus-menerus untuk membuat dunia ini menjadi lebih rapi dan damai serta tetap memiliki keindahan. ''Manusia memang tidak sempurna, namun tetap punya upaya untuk membuat sesuatu menjadi lebih sempurna,'' katanya.

Jero Dalang Made Wijana yang kini bergelut dalam pembuatan gamelan gambang di desanya di Padangbulia mengakui gamelan gambang yang dibikinnya saat ini tetap rapi sebagaimana gamelan gong kebyar. Bilah bambu yang menghasilkan nada tetap diatur dari yang paling panjang ke bilah yang paling pendek. Namun bahan-bahan yang digunakan tetap sama dengan bahan yang digunakan untuk membuat gamelan gambang pada zaman dulu. ''Biasanya bilah-bilah gambang dibuat dengan bambu petung jenggot,''

Lokasi Semedi Mpu Kuturan

Lokasi Semedi Mpu Kuturan

SELAIN sebagai "Tri Guna Pura", sejumlah hal menarik lainnya juga terdapat di Pura Agung Kentel Gumi. Salah satunya, peninggalan sejarah dan purbakala menurut purana dibangun Mpu Kuturan masa pemerintahan Raja Sri Dharmodayana Warmawadewa-Gunapridharmapatni Makutawangsawardana (Putni Mahendradatta) pada 989 M.

Untuk diketahui, Pura Agung Kentel Gumi menyimpan puluhan area kuno. Ada yang masih utuh, ada juga berupa pragmen. Salah satu fragmen itu, sebuali lingga. Bisa disebut Lingga Reka Bhuwana karena berkaitan dengan sejarah, legenda dan mitologi. Lingga itu terletak di utama mandala. Dengan ukuran sangat kecil dibanding bangunan lainnya yang lebih besar dan menjulcing seperti meru, gedong danlainnya, sulit melihat Lingga Reka Bhuwana tersebut, jika tak diteliti. Letaknya persis di tengah-tengah jeroan pura. Tinggi lingga tak lebih 2 meter. Alasnya (Yoni) sekitar 2 meter persegi.


Namun, bentuknya terlihat lebih unik dibanding Lingga-Yoni umumnya. Lingga-Yoni umumnya berupa selinder berujung bulat. Lingga melambangkan purusa. Yoni berbentuk lesung segi empat sebagai simbol pradana.


Sementara Lingga Reka Bhuwana di Pura Agung Kentel Gumi ujungnya (puncak) tidak bulat, tetapi berbentuk pipih. Badan lingga berbentuk persegi. Begitupun Yoni (alas) Sebagai simbol pradana, sekilas tampak seperti punden berundak. Tidak ada yang tahu persis, terkait bentuk Lingga Reka Bhuwana yang berbeda dibanding Lingga-Yoni pada umumnya. Berdasarkan dugaan, itu dikarenakan berkaitan dengan riwayat (tatwa) Pura Agung Kentel Gumi.

Seorang penekun spiritual, urati lontar/babad/prasasti asal Desa Satra, Klungkung, Dewa Ketut Soma, menyebutkan lazimnya Lingga-Yoni Reka Bhuwana disebut Linggih Pancer Jagat. Karena diyakini di tempat itulah Mpu Kuturan meletakkan tanda (titik awal) ketika mengawali pembangunan Pura Agung Kentel Gumi.



Berdasarkan purana, pendirian Pura Agung Kentel Gumi erat kaitannya dengan kedatangan Mpu Kuturan pada masa pemerintahan Raja Udayana dan istrinya Putri Mahendradatta. Mpu Kuturan datang ke Bali untuk dimintai nasehat sebagai purohito, menyusul adanya pertikaian antar sekte keagamaan di Bali. Untuk mengatasi itu.



Mpu Kuturan mengundang tokoh sekte dan menggelar pertemuan di sebuah tempat di Gianyar yang sekarang ini merupakan Pura Samuan Tiga. Menyusul kesepakatan leburnya paham sekte, disepakati juga pemujaan Batara Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa). Dan sini juga muncul konsep Kahyangan Tiga dan desa pakraman.


Sebuah lokasi, sekarang kawasan Pura Agung Kentel Gumi, dipilih Mpu Kuturan sebagai tempat yoga semadi. Berkat kesidhiannya, sosial keagamaan masyarakat Bali jadi kondusif, kokoh. Bebas dan pertikaian antar sekte. Itu yang kemudian disimbolkan dengan Linggih Pancer Jagat—berupa Lingga-Yoni khas Pura Agung Kentel Gumi.


Pura Agung Kentel Gumi juga menyimpan keunikan lain berkaitan dengan kepurbakalaan, Lusinan benda purbakala berupa area, fragmen area, pratima ada di sana. Untuk sementara disimpan di Gedong Murda Manik (palinggih sementara) sambil menunggu tuntasnya pemugaran. Selanjutnya dikembalikan pada pelinggih masing-masing, di mana benda-benda sakral itu berada sebelumnya.


Paling mencolok, bentuk area batu dengan catur muka (wajah ke empat penjuru mata angin). Ukurannya lebih besar dibanding area lain. Tingginya diperkirakan 1,2 meter. Berwarna keabu-abuan berbahan batu andesit selayaknya area kuna umumnya. Namun, tak ada yang tahu secara jelas, makna area tersebut terkait dengan keberadaan Pura Agung Kentel Gumi. Meski demikian, mengingat pura sebagai tempat suci/pemujaan Ida Sang Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya, bukan hal yang salah area Catur Muka dimaksudkan sebagai penggambaran Dewa Brahma/Brahma Catur Muka. Dalam pemahaman Hindu, Dewa Brahma merupakan manisfestasi Tuhan Yang Maha Esa yang berwajah empat

Babad Arya Pacung

Isi Singkat Babad Arya Pacung

Tersebutlah Si Arya Sentong yang bertempat di Desa Pacung bergelar Kiyai Ngurah Pacung. Beliau berputra Si Arya Putu. Setelah lama Si Arya Putu menurunkan Kiyai Ngurah Ayunan dan Kiyai Ngurah Tamu. Kiyai Ngurah Ayunan pindah ke Desa Perean sedangkan Kiyai Ngurah Tamu meninggal dunia sehingga segala pusaka diboyong ke Perean.

Yang mengiringkan beliau adalah Kiyai Ngurah Pupuan. Kiyai Ngurah Perean bergelar Kiyai Ngurah Pacung Sakti. Permaisurinya bernama Ni Gusti Luh Pacekan yang melahirkan seorang putra yang bernama Kiyai Ngurah Batan Duren.

Ketika I Gusti Luh Pacekan pergi ke Tirta Gangga berjumpa lah beliau dengan Hyang Batulumbang. Nampak I Gusti Luh Pacekan terlihat kurang beres. Kini Kiyai Ngurah Pacung berhubungan dengan Ni Jepun, hingga hamil Ni Jepun. Hal ini telah diketahui oleh Ni Gusti Luh Pacekan dan marahlah beliau seraya menangis di hadapan Kiyai Ngurah Pacung. Pertemuan Kiyai Ngurah Pacung bersama Ni Jepun diceritakan dengan Kiyai Ngurah Pamecutan, putranya yang lahir ini bernama Si Ungasan. Setiap ingat dengan Sira Arya, Ni Gusti Luh Pacekan melontarkan kata-kata yang pedas- pedas.


Diceritakan Kiyai Ngurah Pacung sedang keluar-masuk desa, bertemulah dengan Si Ungasan, lalu Kiyai Ngurah Pacung bertahun-tahun tinggal di Pasraman Ki Dukuh. Suatu ketika terjadi keributan dan meninggalnya Ki Dukuh. Tiba-tiba datanglah Si Ungasan ke Pasraman Ki Dukuh dengan membawa nira. Di situ kaget lah Si Ungasan melihat Ki Dukuh tergeletak tak berdaya, lalu dengan segera dikuburkan mayatnya Ki Dukuh.

Kemudian menaruh curiga. Sesampainya dalam perjalanan Ida Arya mengerahkan tenaganya untuk menyerang padukuhan. Terjadilah perang antara I Gusti Arya dengan ayahnya Kiyai Ngurah Pacung.

I Gusti Arya berganti nama I Gusti Ngurah Made Agung yang memerintah di Blangbangan. Setelah lama memerintah ada 2 orang putranya yang bernama I Gusti Putu Balangan, I Gusti Nengah Balangan, dan I Gusti Made Celuk. I Gusti Putu Balangan yang mendirikan Marga, I Gusti Nengah Balangan yang memerintah di Perean, dan I Gusti Made Celuk mendirikan Desa Belayu yang diperistri oleh Ida di Desa Kapal yang menurunkan Kiyai Panji di Toya Anyar, I Gusti Balangan menurunkan I Gusti Balangan, I Gusti Oka, I Gusti Tembahu. I Gusti Oka melahirkan I Gusti Tabanan. I Gusti Oka menurunkan Sangging Jero Taban.

Demikian I Gusti Nengah Balangan menyebar ke lereng gunung, hingga moksa di Desa Jambi. Dan I Gusti Made Celuk mengambil istri ke Desa Tangeb Mengwi yang bernama Ni Gusti Luh Tangeb setelah ayahnya I Gusti Nengah Balangan moksa. Dalam perkawinan ini lahirlah I Gusti Nyoman Celuk.

Diharapkan I Gusti Nyoman Celuk mengambil istri di Desa Kukuh dan mengambil istri juga di Desa Marga yang nantinya melahirkan I Gusti Gede Alit Celuk yang selanjutnya menurunkan keturunan I Gusti Darya dan berpisah dengan keturunan I Gusti Kaler. Oleh karena adanya kutukan dari I Gusti Ngurah Made Agung Blangbangan agar selalu mendapat kesusahan.


Nama/ Judul Babad :Arya Pacung.
Nomor/ kode :Va. 2623, Gedong Kirtya Singaraja.
Koleksi :Ida Bagus Nyoman Lepeg.
Alamat :Penarukan, Kerambitan, Tabanan.
Bahasa :Jawa Kuna Tengahan.
Huruf :Bali.
Jumlah halaman :14 lembar.
Ditulis oleh :A.A. Ngurah Rai

Babad Batur

Isi Singkat Babad Batur

         Diceriterakan Sang Prabu Majapahit mengambil istri ke Desa Emas Betel yang bernama I Dewa Ayu Mas Arak Api. Ketika, Dewa Ayu hamil, Sang Prabu tak disadari menyiksa seorang hamba sampai meninggal. Ibunya Bhatara Guru yang bernama Ida Dewayu Mas Malepud. Dengan hadirnya Bhatara Guru ke bumi ditugaskan untuk memberitahu para manusia agar membuat parhyangan yang bernama "Kamulan" (Bali: Nama parhyangan untuk pemujaan para leluhur). Kemudian Ida Dewayu Mas Malepud hamil ketiga kalinya, tak disadari lahir dan menghilang. Hatinya sangat gelisah, berkaul lah Dewa Ayu kepada para leluhurnya agar putranya yang lahir dan menghilang itu datang kembali. Setelah itu datang lah putranya dari angkasa dan diberi nama I Gede Bhatara Indra.
         Sekarang I Dewa Ayu Mas Mageng prameswari Bhatara Indra mempunyai 3 orang putra: I Gusti Pamucangan diutus mengiringkan Sang Prabu pergi ke Bali, tak diceritakan perjalanannya sampailah beliau di Pura Empul. Dewa Ayu Mas kembali bertemu dengan Bhatara Indra dan bercakap- cakap Ida di sana sehingga Ida Bhatara Indra memberkati parhyangan kepada putranya seperti adanya I Gede Putu Gunung Agung. Setelah itu I Gede Putu dikaruniai Bali serta dikaruniai air suci yang bernama Tirta Toya Mas Kusuma. Kemudian I Gede Putu dikawinkan dengan I Yayu Mas Kaot. I Pucangan lalu disuruh memondong tuannya I Gede Putu ke Desa Tukad Belahan. Dalam perjalanan beliau mengadakan desa-desa Basangaah, Pengotan. Setelah lama berkata diberikan I Pucangan , potongan bambu (bumbung) untuk tempat air suci (tirta), yang bernama Toya Mas Mampeh.
         Diceritakan Bhatara Guru mengambil istri yang bernama Dewayu Mas Gagelang dan mempunyai seorang istri yang bernama Yayu Mas Magelung, Dan putrinya yang kedua bernama Dewayu Mas Wilis serta putranya yang laki bernama I Gede Putu. Bersabdalah Bhatara Indra dengan putranya yang kedua bahwa tempat pemujaannya dibangun bersama rakyat Mengwi, dan upacara pujawali diselenggarakan pada bulan penuh sasih Kedasa (antara bulan April-Mei). Dan juga dinasehati mendirikan parhyangan di Pangastulan dan juga tatacara melaksanakan pemujaan. Ida Prabu Majapahit mengambil istri dari Betawi yang bernama Ida Dewayu Mas Malejer dan menurunkan I Gede Manik Pancer dan setelah dewasa diberikan kekuasaan dan menguasakan I Pasek Trunyan. I Gede Manik Pancer meminta gong kepada I Madusara dengan mengutus I Pasek Turunyan. Gong itu kemudian dititipkan kepada I Pasek. Setelah itu Ida Bhatara Indra didatangi oleh utusan yang bernama I Mimis untuk menanyakan apakah gong itu sudah disampaikan oleh I Pasek. Diceritakan Ida Bhatara Indra menurunkan Ida Dalem Ketut di Gelgel yang diiringkan oleh Pan Dukuh. Pan Dukuh diberikan tempat di Tegalwangi tempatnya pasraman Dalem Suladri. Disuruh memelihara taman Tirta Mas Arum itu dengan baik. Suatu ketika terlihatlah seorang anak kecil di atas daun teratai pada taman itu. Lalu anak itu diambil dan disembunyikan di pondoknya. Ida Dalem Ketut menanyakan kejadian itu kepada Ki Dukuh tentang anak yang didapati di atas daun teratai pada taman tersebut. Anak itu diberi nama Gede Putu yang kemudian setelah dewasa ditempatkan di daerah desa Nyalian. Kini Ida I Gede Putu mengambil istri dari sebelah utara jalan dan menurunkan dua orang putra. Setelah dipandang dapat diandalkan menghadapi musuh, diberikan gelar Sang Wayan Telabah.  
     
       Diceriterakan kini Dewayu Mas Maketel mempunyai putra yang diberi nama I Gede Ngurah Den Bancingah. Setelah I Gede Ngurah Den Bancingah turun dari Bangli, mengambil istri putra dari Perbekel I Wayan Batan Book. Setelah mempunyai putra diberikan nama I Gede Ngurah Tirta Mas Arum. Tersebutlah kini I Ratu dari Majapahit mengambil istri ke Mas Betel yang bernama I Dewayu Tulang Nyuh dan menurunkan I Gede Sakti yang dilahirkan di Gunung Batukau dan adiknya Ida Bhatara Guru. I Ratu Sakti Majapahit juga mengambil istri ke pulau Bima yang bernama I Dewayu Mas Idering Bwana yang menurunkan I Gede Ngrurah Cakraning Bwana, Juga mengambil istri ke Pulau Batak yang bernama Dewayu Mas Maningkang dan melahirkan I Gede Ngurah. Dan istri beliau dari pulau Petingan bernama Dewayu Mas Ngonjol yang melahirkan I Gede Ngurah Londongan, Juga I Ratu Sakti mengambil istri di Meru yang bernama Dewayu Mas Betel. Istri beliau di Betawi bernama Dewayu Mas Ngalejer. Istrinya dari Mas Betel yang bernama Dewayu Arak Api mempunyai seorang putri yang bernama I Dewayu Mas Membah. Juga mengambil istri dari selat Rupek yang melahirkan I Gede Sakti dan Bhatara Guru. Istrinya di Lase bernama I Yayu Mas Karang melahirkan I Gede Maduwe Karang. I Ratu Sakti mengambil istri ke Sumbawa yang bernama Dewayu Mas Naga dan putranya bernama I Naga Basukih. I Ratu Sakti mengambil istri Dewayu Mas Asem menurunkan I Gede Masemsem. Bila beliau ke Belanda mengambil istri yang bernama Dewayu Mas Punuk yang melahirkan I Gede Ngurah Manguntur. Putra beliau di Nyalian Putranya dari Pulau Gresik bernama I Gede Dal yang ditempatkan di sebelah Utara Taman Bali dengan tempat pemujaannya bernama Dalem Tongaling.


Nama/ Judul Babad :Babad Batur
Nomor/ kode :Va.4489, Gedong Kirtya Singaraja.
Koleksi :Balai Penelitian Bahasa Singaraja.
Alamat :Singaraja.
Bahasa :- 
Huruf :Bali.
Jumlah halaman :20 lembar.
Ditulis oleh :I Ketut Ginarsa, Banjar Paketan Singaraja.
Colophon/ Tahun :

Kalimat awal :
Om Awighnam astu.
Ida Ratu saking Majapahit, ngambil rabi ka Emnas Betel,
mapesengan I Dewa Ayu Mas Arakapi.
Kalimat akhir :
Cai turunang Bapa sakeng panagara Nusa, apa ja pakabain bapa cai,
ne pet batu anggen cai palinggihan, ciriang kasiden caine apanga
tegeh buin lumbang.

Babad Pasek Bandesa

Isi Singkat Babad Pasek Bandesa

Diceriterakan keturunan I Gede Manik Mas, berempat di Jembrana di Banjar Wani Tegeh yang asalnya dari Majapahit.
Adalah keturunannya yang berada di Pujungan bernama I Gede Tobya. Ada juga di Beratan yang bernama I Gede Jagra. Senang lah hati Ida Ayu Swabawa, yang berstana di Pulaki dipuja oleh orang Sumedang. Yang ada di Pujungan dan Beratan dengan tekun mempelajari ajaran Canting Mas, Siwer Mas seperti Weda Sulambang Gni, Pasupati Rancana.
Inilah yang diterapkan oleh I Gede Bandesa Mas. Bila mana ada keturunan Ki Bandesa Mas, pandai dengan ajaran agar diimbangi dengan perbuatan.

Diceriterakan Ida Bhatara Danghyang Dwijendra pergi ke Gelgel, diiringkan oleh turunan Ki Gede Bandesa Mas. Kemudian sebelum Ida ke Gelgel, di mana putrinya Dewa Ayu Swabawa disembunyikan, lalu dikutuknya penduduk Pulaki hingga lenyap.
Tersebut pemerintahan Dalem di Gelgel, datanglah Sri Aji Kepakisan. Beliau lah mendirikan Gelgel, dengan para Punggawa, Manca, dan Prajuru yang dilengkapi dengan Pendeta Siwa Buddha dan Bhujangga. Pengiring dari Sri Kresna Kepakisan adalah Arya Kuta Waringin, Sira Arya Manguri, Sira Arya Dalancang, dan Sira Arya Guda dan yang diandalkan adalah Ki Patih Ularan, Ki Pangeran Pasek Gelgel, Ki Gede Bandesa dan juga para prajurit sekalian.

Kemudian berkata lah Ida Dalem kepada Ki Pangeran Pasek.
Oleh karena baktinya Ki Bandesa terhadap sira Kresna Kepakisan, maka diberi jabatan Ki Bandesa Mas.
Adapun para putra beliau seperti Ki Gusti Agung, Ki Gusti Nginte, Ki Gusti Jelantik, Ki Gusti Pinatih, Ki Gusti Dawuh, Ki Gusti Lanang, Ki Gusti Tapa Lare dan sebagainya. Juga para pangeran, Ki Pasek Gelgel, Ki Gede Bandesa Manik Mas, Ki Gede Dangka, Ki Gede Gaduh, Ki Gede Tangkas Agung Duryan, I Gede Kabayan, Ki Gede Pamregan, dan Ki Gede Abyan Tubuh.
Ada lagi keturunan dari mempelai istri yang bernama Ki Gede Pulasari, Ki Gede Babandem, Ki Gede Salahin, Ki Gde Kamoning, dan Ki Gede Suruh. Keturunan Ki Pasek Gelgel sebanyak 8 orang seperti Pangeran Gelgel, Pangeran Abyan Tubuh, Pangeran Selat, Pangeran Sibetan, Pangeran Dangan, Pangeran Batur dan Pangeran Anyaran. Juga diceritakan Warga Pasek Bali Mula (warga pasek sebelum kedatangan Sri Kresna Kepakisan ke Bali), yaitu Pasek Kedisan, Pasek Sukawana, Pasek Taro, Pasek Celagi, Ki Gede Bandesa Gelgel menurunkan Pangeran Bandesa Gelgel dan Pangeran Manik Mas. Ki Pangeran Gelgel berputra Ki Abyan Tubuh, Ki Gede Selat dan Ki Gede Samping. Ki Pangeran Manik Mas menurunkan Ki Gede Manik Mas dan Ki Gede Pasar Badung, Ki Gusti Agung bersama Ki Gusti Kaleran bertentangan dengan Dalem dan membuat daya-upaya bersama Ki Gusti Lanang Jungutan. Dan Ki Gusti Tapa Lare dan para putranya sehingga daya upaya ini yang menyebabkan banyak para Arya di Gelgel. Dan juga para Pangeran sekalian seperti Ki Gede Pasek Gelgel, Ki Gede Bandesa Manik Mas, Ki Gede Dangka, Ki Gede Gaduh, Ki Gede Tangkas Agung Duryan, Ki Gede Kubhayan, Ki Gede Pamregan, Ki Gede Abyan Tubuh.

Ada pula Pangeran dari Pradana (keluarga wanita) dari Sri Aji Bali seperti Ki Gede Bala Pulasari, Ki Gede Babandem, Ki Gede Salahin, Ki Gede Kamoning dan Ki Gede Suruh. Demikian banyaknya keluarga Pangeran.
Diceriterakan keturunan Ki Pasek Gelgel yang menurunkan 8 orang- yaitu Pangeran Gelgel, Pangeran Abyan Tubuh, Pangeran Slat, Pangeran Sibetan, Pangeran Dangan, Pangeran Batur dan Pangeran Anyaran.

Ada juga Warga Pasek Bali Mula (asli) yaitu pasek Kedisan, pasek Sukawana, Pasek Taro, Pasek Celagi, dan Pasek Kayu Selem. Putra dari Ki Gede Bandesa Gelgel adalah Pangeran Bandesa Gelgel dan Pangeran Manik Mas. Pangeran Gelgel kemudian menurunkan Ki Gede Abyan Tubuh, Ki Gede Selat dan Ki Gede Samping. Sedangkan Ki Pangeran Manik Mas berputra 2 orang yang bernama Ki Gede Manik Mas dan Ki Gede Pasar Badung.
Ki Gusti Agung, Ki Gusti Kaleran, dan para manca membuat kekacauan dan menentang Ida Sri Kresna Kapakisan dengan jalan bersekongkol dengan raja Karangasem dan para putra-putranya sekalian. Kemudian Ida Sang Aji Bali diutus ke Besakih dengan melihat kahyangan yang ada di Bali. Para putra Pasek Bali Mula ada yang di Payangan, di Carangsari, di Desa Tegal Lalang, di Blahbatuh, ada di Negari, di Sibang, di Lukluk di Batu Sepih Badung, Marga, Penebel, Wanasari dan sebagainya.

Putra Ki Pasek Kubhayan ada di Batur, Tabanan, Baturiti, Pajaten, di Kerambitan, Antasari, dan Sanda. Dan yang di Tabanan menurunkan di Gobleg.

Putra Ki Gede Abyan Tubuh, mengungsi ke Pandak di Badung, Sibang Beranjingan, Bajra, Sanda Buleleng dan di Banjar. Putra Ki Pasek Gelgel yang berada di Gianyar, ada yang ke Blahbatuh, ke Mengwi, Badung, Tabanan, Buleleng, dan yang di Kediri diangkat menjadi Prabekel. Mengenai putra Ki Gede Manik Mas minggat dari rumah. Kemudian Ki Gede Abyan Tubuh berada di Mangwi sehingga anak cucu beliau mengaku berasal dari Mengwi, Ke Jimbaran, ke Kaba-Kaba, ada yang ke Tabanan. Diceriterakan putranya yang ada di Jimbaran yang mempunyai putra yang bernama Ki Gede Bandesa Gumyar seorang dukun yang tinggal di Desa Tangkan. Ada pula yang ke Blahbatuh ada yang ke Desa Canek, ke banjar Tunon dan ada yang ke Payangan. Ki Gede Bandesa Selat menyebar, ada di Selat, di Apuan, di Desa Duda, di Tirta, di desa Tista Karangasem, di Taman Bali, di Panarungan, di Marga dan ke Jelantik. Ki Gede Dangka, menurunkan putra yang menghamba di Klungkung dan selanjutnya pindah ke Badung tinggal bersama Ida Padanda Raka dan Geria Gede. Dari Geria Gede lalu-pindah ke Sesetan. Putranya yang lain ada di Baturiti, ada di Buleleng, dan ada juga di Tohpati.
Perjalanan Ki Gede Samping ke Badung, yang selanjutnya pindah-pindah ke Mengwi, ke Marga dan sampai ke Jembrana.

Dan turunan Ki Bandesa Manik Mas juga menyebar ke desa-desa seperti ke desa Batan Tingkih, Tulikup, ke Blahbatuh, ke Gunung Bangli, di Pejeng, di Sempidi, di Bongkasa, Tabanan, Wanagiri, Sanda, Buleleng, Gobleg, di Munduk Sawan, Jagaraga, Sangsit, Sukasada, dan di Banjar.
Keturunan Ki Bandesa Pasar Badung menyebar dari Gelgel menuju Gianyar, di Blahbatuh, Negara, Badung, ke Pandak, di Kadiri, di Kulating, Pangkung Tibah, Jegu dan Tegallinggah.
Diceriterakan asal mula dari warga Ki Bandesa Manik Mas yang direstui oleh Ida Padanda Dwijendra serta ajaran yang diberikan beliau dapat dipakai pegangan. Karena baktinya Ki Bandesa Manik Mas dengan mempersembahkan putrinya kepada Ida Pedanda. Kemudian Ida Pedanda mendirikan Parhyangan di Desa Mas yang diberi nama Pura Taman Pule. Ida Pedanda mempunyai putra bernama Pangeran Ida Bukcabe yang kemudian dihormati oleh wangsa Brahmana sekalian. Untuk pemujaan Ida Bukcabe dibangun sebuah tugu (Pasimpangan) yang berbentuk gedong yang beratapkan bata. Dan untuk pemujaan Bhatara di Basukih berupa Meru tingkat 5. Tugu pada pintu adalah pemujaan Jro Gede Dangka.
Ajaran mistik dari Ida Ayu Swabawa yang diberikan oleh Ida Pedanda Dwijendra berupa Siwer Mas, Canting Mas dan Kalabang Gni.
Ditegaskan juga asal usul keturunan Ki Pasek Gelgel yaitu Hyang Gnijaya berputra Mpu Witadharma dan Sang Kulputih. Sang Mpu Witadharma menurunkan Mpu Wiradharma. Mpu Wiradharma berputra 3 orang yaitu Mpu Lampita. Mpu Pastika, dan Mpu Ajnyana. Tetapi hanya Mpu Lampita menurunkan putra 3 orang yaitu Mpu Pradah, Mpu Kuturan, Mpu Katrangan. Mpu Pradah berputra Mpu Bahula, Mpu Bahula berputra Mpu Tantular dan Mpu Pudra. Mpu Tantular berputra 4 orang yaitu Mpu Panawasika, Mpu Asmaranata, Mpu Sidhimantra, dan Mpu Kapakisan. Mpu Asmaranata menurunkan Mpu Angsoka, dan Mpu Nirartha. Mpu Nirartha bernama juga Bhatara Dwijendra atau Bhatara Sakti Wawu Rauh. Mpu Sidhimantra berputra Ida Manik Angkeran. Ida Manik Angkeran berputra Ida Tulusdewa dan Ida Kacang Paos. Ida Tulusdewa berputra Ida Banyakwide dan Arya Sidemen, Ida Banyakwide menurunkan Arya Pinatih atau Arya Wang Bang, Mpu Kapakisan berputra Danghyang Kresna Kapakisan. Mpu Ajnyana berputra Mpu Pananda bertempat di Silayukti. Ada juga Mpu Jinaksara yang menurunkan Mpu Ketek yang kemudian menurunkan Arya Tatar. Arya Tatar bergelar Patih Ulung. Patih Ulung berputra Arya Semar, Arya Semar berputra Gusti Langon. Dari I Gusti Langon inilah yang menurunkan 6 orang wangsa Pasek di Bali seperti Ki Pasek Gelgel, Ki Pasek Denpasar, Ki Pasek Tangkas, Ki Pasek Tohjiwa, Ki Pasek Nongan dan Ki Pasek Prateka serta Ki Pasek Kebayan.
Diceriterakan Sira Bhatara Dwijendra setelah kawin dengan putra Ki Pangeran Mas yang menurunkan Ida Padanda Bukcabe. Ida Bukcabe ini berputra 3 orang yaitu Ida Padanda Kacang Paos, yang berada di Mas, Ida Bukyan bertempat di desa Abiansemal yang diemban oleh Arya Dawuh, yang paling bungsu Ida Padanda Baluwangan tinggal di-desa Padang Jarak yang diiringi oleh rakyat sebanyak 40 orang. Ida Padanda Baluwangan kemudian pindah ke Sanur yang diantarkan oleh Arya Pacung dengan gelar Ida Padanda Kidul.

Nama/ Judul Babad :Babad Pasek Bendesa
Nomor/ kode :Va. 5b59, Gedong Kirtya Singaraja,
Koleksi :Puri Gede Kaba-Kaba.
Alamat :- 
Bahasa :Jawa Kuna Tengahan bercampur Bali.
Huruf :Bali
Jumlah halaman :25 lembar.
Ditulis oleh :I Gusti Ngurah Gede