Prinsipnya, hubungan seks
di luar nikah oleh agama manapun dilarang. Bagi pemeluk Hindu di Bali,
diuraikan dalam Trikaya Parisudha tentang Kayika, yang disebut: “tan
paradara”.
Pengertian tan paradara ini diartikan luas sebagai menggoda, bersentuhan seks, berhubungan seks, bahkan menghayalkan seks dengan wanita/ lelaki lain yang bukan istri/ suaminya yang sah.
Dalam kitab-kitab suci antara lain
Manawadharmasastra, Sarasamuscaya, dan Parasaradharmasastra, hubungan
seks senantiasa dianggap sebagai hal yang suci yang hanya diperkenankan
setelah melalui proses pawiwahan yang menurut Manawadharmasastra ada
delapan cara.
Dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir
Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu yang disahkan oleh PHDI tahun 1987
diatur tentang keadan cuntaka (tidak suci menurut keyakinan agama Hindu)
yang berhubungan dengan masalah seks di luar nikah (pawiwahan)
sebagai berikut:
1. Wanita hamil tanpa beakaon dan
“memitra ngalang” (kumpul kebo), yang kena cuntaka adalah wanita itu
sendiri beserta kamar tidurnya. Cuntaka ini berakhir bila dia dinikahkan
dalam upacara pawiwahan.
2. Anak yang lahir dari kehamilan
sebelum pawiwahan (panak dia-diu), yang kena cuntaka: si wanita (ibu),
anak, dan rumah yang ditempatinya. Cuntaka ini berakhir bila anak itu
ada yang “meras” yaitu diangkat sebagai anak dengan upacara tertentu.
Jika dihayati lebih jauh, seolah-olah
hukuman cuntaka itu hanya ditimpakan kepada wanita dan anak-anak saja.
Pertanyaannya bagaimana mengenai si lelaki pasangan zina/ kumpul kebonya
apakah terkena cuntaka juga?
Secara tegas kesatuan tafsir tidak mengatur, tetapi dosa atas perbuatan paradara jelas disebutkan dalam Sarasamuscaya.
Selain itu pawiwahan yang menyimpang
dari ajaran agama juga dinyatakan sebagai dosa yang disebutkan dalam
Manawadharmasastra dan Parasaradharmasastra.